Kamis, 29 Mei 2008

KETIDAK ADILAN DALAM PERDAGANGAN KOMODITAS PERTANIAN

Abstrak


The study about injustice that happened to the farmer, still in a low level. Infact, the condition of the marginalized of the farmer, happened because of the injusticely that faced by the farmer, because farmers are weak from the financial side, if they have to face the buyer, or else, the government is not stand beside the farmers by their policies, which is to prosperous and the protect the civilian.
In this journal, will be show the injustice that has to be faced by the farmer, which is related by the vegetables trade di the location of the reseach.

PENDAHULUAN

Studi tentang ketidakadilan yang dialami oleh petani, masih minim dilakukan. Walaupun secara faktual, kondisi termarginalisasinya petani dikarenakan ketidakadilan yang dialaminya yang disebabkan karena petani lemah dari sisi ekonomi bila berhadapan dengan pembeli (pelaku usaha) maupun tidak berpihaknya pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya untuk lebih mensejahterakan dan melindungi petani.
Dalam tulisan akan memaparkan tentang ketidakadilan yang dihadapi petani berkaitan dengan perdagangan sayur. Lebih spesifik ketidakadilan tersebut telah ada dan terjadi dalam kontrak jual-beli dalam system perdagangan komoditas pertanian di banyak tempat.
Kontrak merupakan ”Hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.” Menurut KUHPerdata dalam Pasal 1457 menjelaskan bahwa: jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.[1]
Lebih lanjut disyaratkan bahwa perdagangan dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai kesepakatan tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan kehendak kedua belah pihak. Kesepakatan yang terjadi harus dalam keadaan seimbang karena jika kesepakatan terjadi dalam keadaan tidak seimbang maka keadaan itu akan menimbulkan keadaan Undue Influence. Keadaan dimana lemahnya kedudukan salah satu pihak sehingga dengan kelemahan tersebut dijadikan situasi oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Undue Influence adalah pelaksanaan pengontrolan secara tidak sepatutnya oleh orang yang menguasai pengontrolan itu untuk keuntungan dirinya atau orang lain, sehingga perbuatan orang yang dikuasainya atau dikontrolnya, dalam arti sepenuhnya adalah bukan perbuatan yang sesuai dengan kemauannya sendiri.[2] Penyalahgunaan keadaan yang terjadi karena adanya keunggulan ekonomi, penyalahgunaan keunggulan ekonomi terletak pada Inequality of bargaining power, yaitu ketidakseimbangan kekuatan dalam melakukan tawar-menawar atau perundingan antara pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah.[3] Sehingga dalam suatu kontrak dapat menjadi tidak patut atau tidak adil bila kontrak itu terbentuk pada suatu hubungan atau keadaan yang tidak seimbang. Karena kesepakatan yang terjadi diantara kedua pihak dalam kedudukan yang seimbangan antara kedua belah pihak maka keadilan antara keduanya dapat tercapai. Ketidakseimbangan kedudukan dari kedua belah pihak dalam melakukan perjanjian namun kesepakatan tetap terjadi oleh karena adanya keunggulan ekonomi, merupakan salah satu faktor terbentuknya undue influence. Kenyataan tersebut yang banyak terjadi dalam perjanjian jual-beli sayur antara petani dan tengkulak sayur.
Jumlah pendapatan sayur tidak dapat dijawab secara pasti karena akan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu keberhasilan panen dan harga pasar. Panen berhasil jika hasil panen sesuai dengan perhitungan, namun gagal panen juga tidak dapat dihindari sebab terdapat beberapa penyebab terjadinya gagal panen yang dialami oleh petani. Kegagalan panen dapat disebabkan beberapa hal antara lain terserang hama, kekurangan obat-obatan dan faktor cuaca. Dari ketiga faktor tersebut yang paling mempengaruhi kegagalan panen adalah faktor cuaca karena dengan cuaca yang tidak dapat diprediksi kadang curah hujan yang banyak sangat mengurangi kuantitas dan kualitas komoditas pertanian, dengan curah hujan yang banyak juga memerlukan obat-obatan yang lebih agar tetap menjaga kualitas komoditas ini.
Faktor harga sangat mempengaruhi hasil pendapatan petani, jika harga pasar rendah maka pendapatan petani juga ikut rendah, sebagai misal bila apabila harga kentang Rp. 2.000,-/kg maka jumlah pendapatan yang bisa didapat sebesar ( 1ton x 2.000) = Rp. 2.000.000,- . Jumlah pendapatan tersebut belum dikurangi dengan biaya penjualan. Begitu juga untuk sayur kubis, apabila harga kubis Rp. 1.000,-/kg maka jumlah pendapatan petani sebesar ( 1,5 ton x 1000) = Rp. 1.500.000,-. Jumlah pendapatan tersebut sama halnya juga jika berhasil dalam panen dan harga pasar standar Rp.1000,- untuk 1 kg kubis. Namun yang terjadi harga di pasar untuk sayur kentang bisa turun mencapai Rp. 1.000, - untuk 1 kg kentang dan bahkan kurang dari Rp.1000,- begitu juga harga terhadap sayur kol bahkan bisa sampai mencapai harga Rp. 300,00 untuk 1 kg kubis. Dalam keadaan harga yang sangat rendah tersebut membuat petani kesulitan karena sama sekali tidak ada keuntungan terlebih untuk menyisihkan guna modal tanam pada musim tanam berikutnya.
Dalam melakukan penjualan sayur petani melakukan dua cara yaitu:
Pertama, Petani menjual sendiri hasil panennya kepasar, penjualan ini dilakukan melihat pada saat panen petani masih memiliki sisa modal untuk transportasi menjual sendiri hasil panennya kepasar, terkecuali itu penjualan hasil panen yang dilakukan sendiri kepasar memiliki harga pasar yang pasti artinya bahwa tawar menawar harga langsung kepada konsumen sehingga tidak ada potongan-potongan dan petani mendapati harga yang pantas. Namun cara ini sangat jarang dilakukan oleh petani karena mengingat biaya transportasi yang digunakan untuk menjual menjadi hambatan.
Kedua, Petani menjual hasil panennya kepada tengkulak, penjualan hasil panen melalui tengkulak merupakan alternatif yang cukup membantu petani dalam mengurangi kerugian. Namun demikian potongan berat sayur harus menjadi tanggungan petani, hal tersebut dikarenakan tengkulak juga harus mengeluarkan biaya-biaya untuk penjualan hasil panen, diantaranya untuk biaya transportasi, biaya panggul pasar (kuli), biaya perawatan hasil panen sebelum dijual (mencuci, menata dalam kranjang) dan pasti ditambah biaya tenaga tengkulak sendiri untuk menjual hasil panennya.
Cara kedua sering digunakan oleh petani sayur karena melihat perdagangan komoditas pertanian khususnya sayur sangat tinggi sehingga jika hasil panen tidak segera dijual maka akan tidak laku karena adanya persaingan yang sangat banyak dari wilayah lain, dan apabila komuditas sayur semakin banyak diperdagangan maka harga sayur akan turun terkecuali itu cara kedua digunakan karena melihat ketahanan sayur yang tidak dapat bertahan lama maka petani harus segera menjual hasil panennya sebab jika kelamaan sayur akan membusuk.
Penjualan sayur kepada tengkulak sebenarnya tidak menguntungkan bagi petani, mulai dari rendahnya harga tawar dari tengkulak ditambah lagi potongan 10% dari bobot timbangan sayur. Potongan 10% ini sudah menjadi kebiasaan perdagangan yang tidak tahu kapan dimulainya, potongan ini sangat merugikan petani. Misalnya jika harga kubis Rp. 1.000,-/kg dan petani mendapat hasil 1,5 ton maka hasil yang diterima oleh petani hanya 1350 kg x 1000 = Rp. 1. 350.000,-. Dari Rp. 1.350.000,- tersebut jika dikurangi modalnya Rp. 570.000,- maka pendapatan petani sebesar Rp. 780.000 itu untuk 3 bulan. Pendapatan tersebut jika menghasilkan 1 ton dan harga pasar 1.000/kg bagaimana jika harga pasar hanya mencapai 300/kg (300 x 1350) = Rp. 405.000,- angka pendapatan yang sangat merugikan bagi petani yang bahkan modalnya saja tidak kembali hal tersebut juga terjadi pada sayur yang lain jika harga sayur turun. Karena adanya keadaan yang mengharuskan segera terjualnya sayur maka kesepakatan tetap terjadi dengan adanya potongan yang ada. Setelah terjadi kesepakan harga antara petani dan tengkulak sayur dalam pembayaran terdapat dua cara yang dilakukan yaitu jika hasil sayur telah disepakati pembayaran secara tunai maka pembayaran dilakukan setelah kesepakatan terjadi, tetapi jika terjadi pembayaran disepakati beberapa hari oleh tengkulak maka kewajiban tengkulak belum langsung selesai dengan petani.
Berdasarkan paparan di atas, maka studi terhadap ketidak adilan dalam perdagangan komoditas pertanian menjadi menarik untuk dikritisi lebih mendalam.
Berdasarkan uraian maka dalam tulisan ini akan menggambarkan ketidakadilan dalam perdagangan komoditas pertanian.
Kerangka Teori
Menurut Ulpianus (± 200 AD), “justitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi”. Keadilan adalah kehendak yang ajeg dan menetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Dalam bahasa Inggris terjemahannya berbunyi “to give everbody his owm” atau memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya. Inti dari pengertian tersebut bahwa memberikan masing-masing haknya dan tidak lebih, tapi juga tidak kurang daripada haknya.[4]
Dari pengertian tersebut ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan, yaitu: keadilan tertuju pada orang lain, keadilan harus ditegakkan, dan keadilan menuntut persamaan. Tiga unsur hakiki yang terkandung dalam pengertian keadilan ini perlu dijelaskan lebih lanjut, bahwa:
1. Keadilan selalu tertuju pada orang lain atau keadilan selalu ditandai other-directendness.
2. Keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan.
Dengan demikian berdasarkan pendapat di atas maka keadilan tidak dapat hanya diharapkan saja atau dianjurkan saja. Keadilan mengikat setiap orang, sehingga setiap orang mempunyai kewajiban. Ciri kedua ini disebabkan karena keadilan selalu berkaitan dengan hak yang harus dipenuhi, pada ciri kedua ini menekankan bahwa dalam konteks keadilan selalu berurusan dengan hak orang lain. Kalau kita memberikan sesuatu karena alasan keadilan, kita selalu harus dan wajib memberikannya. Tidak demikian bila kita memberikan sesuatu karena alasan lain, kita tidak wajib untuk memberikannya
Keadilan dalam ciri ketiga dapat digambarkan sebagai Deuti Iustitia yang memegang timbangan dalam tangannya dalam mitologi Romawi, digambarkan juga dengan mata tertutup dengan kain. Sifat terakhir ini menunjuk kepada ciri ke 3 (tiga), bahawa keadilan harus dilaksanakan terhadap semua orang tanpa melihat siapa orangnya.
Aristoteles memberikan arti keadilan sebagai, “ius suum cuique tribuendi” adalah memberikan masing-masing bagiannya. Dengan demikian keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan, karena keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Pendapat Aristoteles juga memunculkan adanya dua macam keadilan yaitu keadilan distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan melainkan kesebandingan. Dan keadilan commutatief ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.[5]
Menarik pengertian keadilan yang dikemukakan oleh O. Notohamidjojo, keadilan itu menuntut perlawanan terhadap kesewanang-wenangan kepada manusia, keadilan memberikan kepada masing-masing haknya, dengan kata lain keadilan merupakan postulat (tuntutan atau dalil, yang tidak dapat dibuktikan, yang harus diterima untuk memahami fakta atau peristiwa tertentu) bagi perbuatan manusia. Karena keadilan menuntut untuk melihat sesama manusia sebagai manusia, mewajibkan memanusiakan manusia (Vermenschlichung den Menschen).[6] Keadilan menempatkan fihak lain sebagai subyek seperti kita sendiri ingin juga diakui sebagai subyek. Keadilan menuntut perlakuan seperti kita sendiri diperlakukan. Keadilan mengucilkan kesewenang-wenangan.
Berdasarkan tiga pendapat di atas paling tidak kita dapat memahami apa yang dimaksudkan dengan keadilan. Guna melengkapi pendapat di atas, maka perlu dikemukakan prinsip-prinsip keadilan yang perlu dipertahankan, menurut John Rawls sebagai berikut:[7]
a. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas yang dapat dicocokkan dengan kebebasan-kebebasan yang sejenis untuk semua orang; dan
b. Ketidaksamaan social dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga:
1) Menguntungkan terutama orang-orang yang minimal beruntung, dan serentak juga.
2) Melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam keadaan yang menjamin persamaan peluang yang fair.

Pendapat John Rawls sangat relevan digunakan sebagai dasar dalam menganalisis masalah ketidakadilan dalam perjanjian jual-beli sayur.
Konsep keseimbangan, Blacks Law Dictionary menjelaskan mengenai
Equality: “The Condition of possessing substantially the same rigt, privileges, and immunities, ang being liable to substantially the same duties “equality” guaranfeed under squal protection clause is equality under the same conditions and among persons similiary situated: classification must not be arbitary and must be based upon same difference in classes having substantial relation to legitimate objects to be accomplished”.[8]
Dalam memberikan pemahaman lebih dalam mengenai keseimbangan penulis melihat sejarah munculnya keseimbangan. Ajaran mengenai kesederajatan hukum bermula dari ajaran hukum alam Stoa yang atas nama akal yang universal, mendalilkan kesederajatan individu-individu, ras-ras dan bangsa-bangsa.
Dalil modern mengenai kesederajatan hukum berasal dari zaman revolusi Perancis dan revolusi Amerika. Dalam arti formal dan umum, persamaan adalah dalil tentang keadilan.[9] ”keadilan distributive”, dari Aristoteles menuntut perlakuan yang sama bagi mereka yang sederajat di depan hukum.
Bertumpu dari apa yang dimaksudkan dengan keadilan maka ketidak adilan adalah kebalikan dari keadilan. Bila unsur-unsur dari keadilan adalah adanya bagian yang harus diberikan, adanya persamaan tetapi bukan penyamarataan dan adanya hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas sebagai sesama manusia, yang pada hakekatnya bahwa keadilan merupakan kondisi yang menciptakan diberikannya kepada masing-masing bagiannya. Dengan demikian penulis mendefinisikan ketidakadilan adalah kondisi atau keadaan dimana bagian yang menjadi haknya tidak diberikannya karena adanya pembatasan terhadap kebebasan seseorang sehingga terjadi kesewenang-wenangan yang menciptakan tidak adanya persamaan sesama manusia.

Analisis terhadap Ketidakadilan dalam Perdagangan Komoditas Pertanian
Dalam perdagangan komoditas pertanian antara petani dan tengkulak terjadi adanya ketidakseimbangan kedudukan antara petani dan tengkulak dalam penawaran. Kekuatan tawar tengkulak lebih besar dari pada petani, adapun lemahnya kekuatan tawar dari petani disebabkan karena adanya kesulitan bahwa secara ekonomi petani kehabisan modal untuk menjual sayur keluar daerah karena modal yang dimilikinya telah digunakan untuk biaya produksi. Dengan tidak dimilikinya modal sehingga petani menjual sayurnya kepada tengkulak yang merupakan pembeli terdekat dan tercepat yang dapat ditemui oleh petani.. Disamping itu, tidak dimilikinya kemampuan mendapatkan akses penjulan sayur karena kondisi geografis yang sering kali kurang mendukung dan ditopang dengan pendidikan yang kurang dari petani menjadikan kebutuhan adanya tengkulak sangat dibutuhkan. Kesulitan lain bahwa adanya penetapan harga dari tengkulak serta adanya hubungan peminjaman antara petani dan tengkulak menambah posisi petani rendah. Sedangkan diposisi lain bahwa tengkulak selalu dalam keadaan dalam posisi tinggi, dimana modal yang dimiliki menjadi faktor penting dalam pencarian akses penjualan, ditambah adanya kebutuhan akan tengkulak sangat dibutuhkan. Dalam perjanjian jual-beli sayur antara petani dan tengkulak terjadi pemanfaatan keadaan oleh tengkulak dari petani untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dan keadaan ini mengakibatkan kerugian yang harus diterima petani.
Ketidakadilan dalam hal ini dihubungkan dengan asas-asas dalam hukum kontrak seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas itikat baik dan asas keseimbangan. Asas-asas tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Dengan adanya asas hukum dalam sebuah kaedah yang saling berhubungan maka tujuan hukum untuk menciptakan keadilan dapat tercapai. Keadilan merupakan tujuan setiap dibentuknya peraturan hukum dan keadilan menuntut adanya persamaan antar manusia. Dengan adanya persamaan maka tidak akan ada kesewenang-wenangan terhadap manusia karena setiap orang mempunyai kebebasan untuk mendapatkan keadilan. Adanya persamaan mewujudkan adanya kebebasan yang sama sebagai manusia sehingga menghilangkan kesewenang-wenangan terhadap sesama manusia. Unsur-unsur yang terkadung tersebut harus ada untuk mencegah adanya ketidakadilan. Sehingga ketidakadilan terjadi dalam hal unsur-unsur dalam keadilan tidak diberikan, dengan adanya ketidakadilan bukti yang kongkrit adalah adanya kerugian yang diderita yang seharusnya tidak terjadi.
Dalam kontrak jual-beli sayur tersebut bahwa pihak lemah dalam hal ini petani hanya dianggap sebagai obyek dalam pengambil keuntungan sebesar-besarnya oleh tengkulak. Kelemahan dari petani adalah kurangnya modal dan pengetahuan serta pengalaman dalam memasarkan sayur sehingga tidak dimilikinya akses penjualan sayur bila dibandingkan dengan tengkulak Kelemahan tersebut menyebebkan adanya ketidakseimbangan dalam melakukan penawaran yang menyebabkan tidak adanya kebebasan bagi petani untuk melakukan penawaran yang pantas, sehingga memunculkan kerugian bagi petani yang berbentuk rendahnya harga tawar dari tengkulak. Kerugian inilah yang menjadi ketidakadilan bagi petani sayur.
Asas kebebasan berkontrak seharusnya dibangun atas asumsi dasar bahwa semua orang mempunyai kedudukan, kemampuan ekonomi dan sosial yang sama kuat serta kebebasan tanpa adanya keterpaksaan Namun dalam kenyataannya para pihak yang terlibat dalam perjanjian tidak selalu sama kuatnya, malahan sering sangat berbeda. Dimana kekuatan petani untuk melakukan penawaran tidak seimbang yang mengakibatkan petani memiliki kekuatan penawaran yang lebih lemah karena adanya keadaan yang mamaksa dari petani. Ketidakseimbangan ini tidak boleh dianggap sebagai hal yang wajar karena adanya kebebasan, tetapi harus menjadi perhatian dalam membuat perjanjian, hal tersebut karena ketidakseimbangan tersebut akan mengakibatkan perjanjian tidak adil. Dengan adanya ketidakadilan maka penggunaan asas kebebasan berkontrak tidak sesuai dengan harapannya, karena asas kebebasan berkontrak bertujuan memberikan keadilan.
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata juga terkandung adanya asas pacta sunt servanda, yang menyatakan Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang. Asas pacta sunt servanda dikuatkan dengan adanya kata sepakat. Bahwa adanya kesepakatan yang telah terjadi antara para pihak maka sudah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, tetapi apakah dengan adanya kata sepakat yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh oleh salah satu pihak menjadikan kesepakatan itu sebagai undang-undang bagi para pihak seperti yang dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Menurut penulis berlakunya kesepakatan sebagai undang-undang tidak hanya dalam hal mengikat keduabelah pihak saja tetapi juga harus bertujuan menciptakan keadilan. Dengan adaya kerugian salah satu pihak maka hal itu merupakan bukti adanya ketidakadilan sehingga kesepakatan yang terjadi tidak dapat dijadikan undang-undang bagi para pihak sesuai dengan asas pacta sunt servanda. Dalam perjanjian jual-beli sayur antara petani dengan tengkulak sayur terlihat bahwa sebenarnya kesepakatan tidak diinginkan oleh petani karena penawaran tengkulak tidak sesuai dengan keinginan petani tetapi karena adanya keadaan terpaksa dari pihak petani maka perjanjian tetap terjadi.
Demikian juga dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik”. Asas itikat baik merupakan asas bahwa para pihak dalam membuat perjanjian harus berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Keyakinan itu menunjukkan adanya kehendak yang diingingkan. Itikat baik sangat erat kaitannya dengan kepatutan atau keadilan, dan ukuran itikad baik harus ada pada para pihak. Dalam perjanjian jual-beli sayur tersebut, itikad baik sulit ditemukan hal itu dapat dilihat bahwa tengkulak sebagai pihak yang memiliki kekuatan ekonomi kuat hanya bertujuan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kepentingan petani untuk mendapatkan penawaran yang sesuai. Sedangkan petani yang dalam keadaan terpaksa hanya menerima penawaran yang ada dan menerima pembayaran. Tidak adanya kehendak yang bebas untuk melakukan penawaran yang dimiliki petani menandakan tidak adanya itikad baik dari tengkulak untuk mengadakan perjanjian.
Keseimbangan kedudukan dalam kekuatan tawar menawar harus menjadi perhatian dalam membuat perjanjian. Kelemahan-kelemahan pihak petani harus menjadi perhatian dalam membuat perjanjian. Tengkulak sayur yang memiliki bargaining position lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan petani sayur demi keuntungan dirinya sendiri. Penawaran harga yang rendah menandakan tidak diberikannya bagian sesuai haknya, tidak adanya kebebasan yang dimiliki petani, hak sebagai bagiannya dalam bentuk kebebasan tidak diberikan maka ketidakadilanlah yang terjadi.
Kebebasan yang diartikan sebebas-bebasnya akan mewujudkan ketidakadilan karena kebebasan yang ada selalu digunakan oleh pihak yang kuat untuk menekan pihak yang lemah, penekanan tersebut tidak lain untuk lebih banyak memberikan keuntungan bagi pihak yang kuat, sedangkan bagi pihak yang lemah keterpaksaan-keterpaksaan menjadi kerugian. Kerugian tersebutlah yang terjadi dalam perjanjian jual-beli sayur, dimana petani selalu memiliki keadaan terpaksa sehingga menciptakan posisi tawar lemah bagi petani sehingga tengkulak mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kondisi atau keadaan dimana bagian yang menjadi haknya tidak diberikannya karena adanya pembatasan terhadap kebebasan seseorang sehingga terjadi kesewenang-wenangan yang menciptakan tidak adanya persamaan sesama manusia merupakan bentuk adanya ketidakadilan.
Kerugian yang dialami petani sayur tersebut merupakan bukti tidak diberikannya bagian yang menjadi haknya. Hak tersebut seperti penawaran harga yang rendah yang merugikan petani jika dibandingkan dengan modal dan tenaga yang dikeluarkan oleh petani, sehingga ketidakadilan menjadi hasil dari tidak diberikannya bagian sesuai haknya masing-masing. Sehingga asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik dan keseimbangan hanya bisa mencapai tujuannya untuk mendapatkan keadilan bila para pihak memiliki bargaining position yang seimbang, keinginan yang baik dari para pihak sehingga ada persamaan dan diberikannya hak sesuai bagiannya masing-masing.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, dapat diketahui bahwa ketidakadilan yang terjadi pada perdagangan komoditas petanian. Kontrak yang mendasarkan pada ketidakseimbangan, menghasilkan kesepakatan semu dan kebebasan berkontrak yang semu. Namun demikin kontrak perdagangan yang demikian berlaku pada system perdagangan komoditas pertanian dan sering kali telah menjadi kebiasaan atau bahkan menjadi the living law yang diakui kebenarannya. Melihat kompleksitas permasalahan tersebut diharapkan penyelesaian terkait dengan ketidak adilan dalam perdagangan komoditas pertanian dapat dilakukan secara efektif, sehingga petani khususnya petani sayurpun dapat merasakan keadilan yang seharusnya didapat. Semoga.
Daftar Pustaka

L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983
W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum ( Hukum & masalah-masalah kontemporer), Raja Grafindo, Jakarta, 1994
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
Salim H. S, Hukum Kontrak .
Hennry Campble Black, Black’s Law Dictionary., Sixth West Publishing Co., St.Paul Minn, 1990.
O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta pusat, 1978, .









[1] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, hal. 364.
[2] Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 113.
[3] Salim H. S, Hukum Kontrak. cit., hal. 38.
[4] O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta pusat, 1978, hal. 86.
[5] L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 23.
[6] O. Notohamidjojo, op. cit., hal. 89.
[7] Ibid, hal. 46.
[8] Hennry Campble Black, Black’s Law Dictionary, Six Ed.West Publishing Co., St.Paul Minn, 1990, hal. 536.
[9] W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum ( Hukum & masalah-masalah kontemporer), Raja Grafindo, Jakarta, 1994, hal. 64.

Tidak ada komentar: