Kamis, 22 Mei 2008

KEGIATAN BISNIS NON GOVERNMENTAL ORGANISATION MENUJU KEMANDIRIAN LEMBAGA

Latar Belakang Masalah
Fenomena gerakan civil society yang berkembang dewasa ini dari beberapa pendapat selalu dikemukakan berbanding terbalik dengan kekuasaan negara. Bila negara sedemikian kuat pastilah penetrasi dilakukan sehingga civil society melemah. Sedangkan civil society akan tumbuh subur mana kala penetrasi negara melemah. Pada saat peranan negara melemah inilah maka peranan lebih besar diberikan kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri. Lembaga nir laba dalam hal ini adalah lembaga yang bergerak di sektor nir laba, merupakan salah satu lembaga yang sangat penting untuk menjalankan peran masyarakat atau salah satu elemen dari civil society yang berkedudukan sebagai intermediary (penengah) antara masyarakat dan negara/ pemerintah. Nir laba berasal dari 2 kata yaitu nir-yang artinya tidak dan laba yang artinya mendapatkan laba[1] dengan demikian arti nirlaba adalah tidak mendapatkan laba. Lembaga nir laba dapat diberi pengertian sebagai suatu lembaga yang didalamnya terjadi berbagai aktivitas yang berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan yang berbeda ukurannya, yaitu bukan untuk memperoleh profit yang dibagikan untuk para anggota ataupun pengurus,bila dibandingkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga-lembaga yang bergerak untuk memperoleh profit[2]. Keuntungan yang diperoleh pada lembaga ini ditujukan bagi kepentingan beneficiary. Tantangan yang dihadapi oleh lembaga ini berkaitan dengan kedudukannya sebagai intermediary tersebut telah menjadi kajian banyak penulisan. Tantangan lain yang menarik untuk diungkap guna menopang kedudukan tersebut dan menjadi krusial dikarenakan lembaga ini berdasarkan sifat kegiatan yang dilakukannya merupakan lembaga nirlaba, yaitu berkaitan dengan penggalangan sumber daya yang dilakukan guna membiayai pengeluaran kegiatan yang dilakukan serta untuk sustainibility lembaga. Secara umum alasan yang mendasari dilakukanya penggalangan sumber daya oleh lembaga ini adalah sebagai berikut.[3]
1. Agar dapat bertahan hidup (pada masa dana luar negeri sudah semakin sedikit, terutama bagi organisasi-organisasi kecil);
2. Agar mendapat dana untuk perluasan dan pembangunan;
3. Agar tidak terlalu tergantung pada lembaga donor asing atau sumber dana lain;
4. Agar dapat membangun kelompok pendukung dalam masyarakat;
5. Agar dapat mewujudkan organisasi yang kokoh dan berumur panjang

Karakter nir laba yang demikian dapat ditemukan pada lembaga NGO. Setidaknya ada 5 karakteristik dasar NGO yang lazim ditemukan di banyak negara, yaitu:[4]
1. Lembaga non pemerintah yang membedakannya dari birokrasi dan institusi kenegaraan;
2. Dijalankan atas dasar kesukarelaan (voluntery);
3. Menjalankan kegiatan tidak dengan tujuan mencari dan membagikan keuntungan (nir laba);
4. Melayani masyarakat umum;
5. Tidak berorientasi pada kekuasaan politik secara langsung.
Berdasarkan peranannya maka dapat dipetakan beberapa pelaku yang berperan di dalam sektor Nir Laba, yaitu: Organisasi/ lembaga nir-laba, sebagai pelaku utama aktifitas disktor ini; Negara/lembaga Pemerintah, sebagai pelaku yang memilikin peran mengatur aktifitas-aktifitas kemasyarakatan; Masyarakat, sebagai pihak yang atas namanya, kepadanya dan oleh dirinya aktifitas nir-laba dirasakan manfaatnya[5] sebagai beneficiary.
Berdasarkan hasil penelitian tentang Problematika Hukum Di Sektor Nir Laba Menuju Good Corporate Governent yang dilakukan pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2004 dapat diperoleh based line data tentang karakteristik 9 (sembilan) NGO yang termasuk dalam kategori BIG NGO di Indonesia. Dari karakteristik lembaga yang diteliti dapat diketahui bahwa masing-masing lembaga walaupun berada pada sektor nir laba namun tetap melakukan penggalangan sumber daya guna membiayai kegiatan nir laba yang dilakukannya. Penggalangan sumber daya secara konsep meliputi :
Pertama, penggalangan dana atau fundraising yang berasal dari pihak lain di luar lembaga, baik pemerintah, korporasi ataupun pihak lain;
Kedua, pemupukan dana melalui produksi yaitu sumber daya yang diproduksi oleh lembaga baik sendiri maupun bekerjasama dengan lembaga lain[6] bahkan kegiatan bisnis yang nyata-nyata dilakukan oleh lembaga dengan membentuk entitas bisnis tertentu.
Ketiga, penggalangan sumber daya dari pinjaman pihak lain walaupun langkah ini tidak populer untuk dilakukan.
Upaya penggalangan sumber dana sedemikian rupa, memenuhi 2 konsep penggalangan sumber daya, yaitu: Fundraising dan penggalangan dana yang dilakukan sendiri atau bekerjasama dengan lembaga lain.
Penggalangan sumber daya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga di sektor nir laba tersebut dalam faktanya banyak memunculkan masalah-masalah hukum didalamnya baik yang berkaitan dengan sengketa hukum yang muncul ataupun tidak terkait dengan sengketa namun dapat diprediksi memungkinkan munculnya sengketa hukum dikemudian hari. Dan permasalahan ini menjadi salah satu isu yang menarik untuk dicermati dalam memahami lembaga disektor nir laba secara menyeluruh. Karena penggalangan sumber daya sangat penting dilakukan NGO, walaupun NGO secara karakteristik adalah nir laba. Hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan berkaitan dengan penggalangan sumber daya tersebut adalah tetap mengedepankan prinsip responsibility, accountability, fairness dan transparency, yang secara singkat dijelaskan sebagai berikut:[7]
Responsibility. Berkaitan dengan tanggungjawab untuk mengejar keuntungan bagi perusahaan seiring dengan tanggungjawab sosial kepada masyarakat. Dalam kaitan dengan organisasi nir-laba dapat ditafsirkan sebagai tanggungjawab untuk mengejar pencapaian tujuan organisasi atau kepentingan anggota seiring dengan tanggungjawab sosial kepada masyarakat;
Accountability. Dalam konteks perusahaan, yang dimaksud adalah membangun pertanggungjawaban kepada pemegang saham. Dalam konteks organisasi nir laba adalah pertanggungjawaban kepada pendiri atau badan hukum.
Fairness. Dalam konteks perusahaan, merupakan jaminan bahwa semua pemegang saham diperlakukan secara setara tanpa membedakan signifikasi dalam pemilikan. Pengurus harus memperlakukan secara setara dan harus menjamin hak-hak para investor, termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Kesetaraan semacam ini juga, dalam konteks organisasi nir laba, perlu dijamin untuk perlakuan terhadap para pendiri atau anggota organisasi, maupun penerimaan manfaat.
Transparency. Mengenai disclosure dari setiap informasi yang menyangku kepentingan umum atau kepentingan pemegang saham. Organisasi harus mengungkapkan informasi secara akurat, cukup dan tepat waktu.

Dalam upaya penggalangan dana tersebut, tidak tertutup kemungkinan NGO tersebut menghadapi sengketa-sengketa yang terjadi, dimana dalam menghadapi sengketa tersebut telah dilakukan upaya penyelesaian baik dengan melalui litigasi maupun non litigasi.
Berdasarkan paparan di atas maka menarik untuk diteliti masalah-masalah hukum dalam penggalangan sumber daya pada lembaga nir laba dengan tetap mengacu pada Good Corporate Governance dan peraturan perundangan serta konstitusi lembaga.

KERANGKA TEORI
Berdasarkan orientasi dari masing-masing lembaga Nir laba yang penulis ambilkan dari pendapat Philip Eldridge tentang NGO Model,[8] maka dapat dijelaskan dalam kaitannya tulisan ini bahwa model tersebut relevan dengan upaya penggalangan sumber daya yang dilakukan oleh lembaga. Secara konsep penggalangan sumber daya pada lembaga Nir Laba meliputi :
Pertama, penggalangan dana atau fundraising yang berasal dari pihak lain di luar lembaga, baik pemerintah, korporasi ataupun pihak lain;
Kedua, sumber daya yang diproduksi oleh lembaga baik sendiri maupun bekerjasama dengan lembaga lain[9].
Bila NGO mengacu pada mode 1 (pertama) pada NGO mode tersebut, dimana berorientasi pada pengembangan masyarakat, akomodatif, serta hubungannya dengan NGO sponsor adalah semi-dependent maka sangat dimungkinkan 2 konsep penggalangan sumber daya di atas diterapkan pada lembaga tersebut. Sedangkan pada NGO Model yang ketiga dengan karakteristik sedemikian di atas, dapat disimpulkan sementara bahwa pada NGO yang demikian penggalangan sumber daya dilakukan secara mandiri, karena pada dasarnya funding dalam memberikan pendanaan selalu diikuti dengan persyaratan-persyaratan tertentu, sehingga lembaga tidak dapat secara mutlak independen dari kepentingan funding.
Bukan sekedar pilihan konsep penggalangan sumber daya tersebut yang menarik untuk dikaji namun juga dalam hal produksi barang dan atau jasa yang dipilih sebagai upaya penggalangan sumber daya, maka pilihan produksi yang dilakukan lembaga seharusnya relevan dengan orientasi lembaga tersebut. Orientasi lembaga tersebut tertuang secara tegas dalam konstitusi lembaga.
Kedudukan konstitusi bagi lembaga dapat dijelaskan dengan mendasarkan pendapat dari K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions yang menjelaskan tentang kedudukan konstitusi dimana menurut penulis dapat digunakan sebagai dasar berpijak untuk kedudukan konstitusi lembaga bagi lembaga nirlaba. Dijelaskan bahwa kedudukan konstitusi dalam suatu negara bisa dipandang dari dua aspek, yaitu aspek hukum dan aspek moral. Konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derajat tertinggi (supremasi). Sehingga punya daya ikat bukan hanya bagi rakyat/ warga negara tetapi juga mengikat bagi para penguasa (dalam konteks penulisan ini adalah pengurus) dan badan pembuat konstitusi (penulis; pendiri) itu sendiri. Konstitusi dilihat dari aspek moral landasan fundamental maka konstitusi berada di bawahnya sehingga tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral[10]. Bertolak dari pendapat di atas maka segala kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dalam menjalankan aktivitas khususnya penggalangan sumber daya haruslah tunduk pada konstitusi lembaga sebagai supreme law.
Dengan demikian di kalangan NGO, LSM maupun LPSM dipisahkan secara tegas dengan bentuk-bentuk lembaga yang lain. Dalam hal ini berarti bahwa menurut kalangan NGO yang nota bene lembaga nir laba dipahami bahwa regulasi yang berlaku pada lembaga ini tidak dapat dipersamakan dengan lembaga yang lain tersebut. Sehingga ada pemisahan yang sangat jelas antara satu sisi lembaga yang berorientasi ekonomi dan sosial-ekonomi dengan lembaga sosial politik (LSM/LPSM). Sedangkan di dalam lembaga sosial-pilitik itu sendiri, LSM dan LPSM dibedakan dengan Yayasan dan Parpol maupun Ornop.
Pemisahan yang hampir sama penulis lihat dari beberapa pendapat ahli hukum bisnis yang mengeluarkan yayasan (salah satu bentuk hukum yang dapat digunakan oleh lembaga nir laba) dari pembahasan hukum bisnis. Menurut penulis, pemisahan yang strict demikian tidaklah tepat, hal ini dilihat secara faktual bahwa hampir semua lembaga melakukan kegiatan bisnis (prinsip-prisnsip bisnis diterapkan disini tidak berbeda dengan lembaga bisnis yang lain) yang keuntungan dari kegiatan bisnis tersebut tidak untuk kepentingan pengurus ataupun karyawan semata tapi diharapkan lebih bagi kepentingan beneficiary. Dengan demikian Yayasan yang demikian menurut pendapat penulis adalah pelaku usaha dengan karakteristik yang melekat pada dirinya haruslah diperhatikan.
Dengan demikian hukum yang seperti apa seharusnya diterapkan pada lembaga ini haruslah merujuk pada karakter yang dimilikinya tersebut . Hukum yang mendasarkan pada paradigma moral[12] yang berupa seperangkat nilai yang bersifat egalitarian, demokratis, pluralistis dan profesional untuk membangun masyarakat madani (civil society) perlu diterapkan dalam pengaturan lembaga ini. Hal ini sangat sesuai dengan pandangan Utilitarianisme yang meletakkan kemanfaatan (kebahagiaan) sebagai tujuan utama hukum. Dimana kemanfaatan hukum ada pada tujuan untuk memberikan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut (the greatest happiness for the greatest number of people).[13]. Namun demikian types of utilitarianism juga dimungkin negative utilitarianism[14] yang dalam konteks ini kemanfaatan ataupun kebahagiaan tidak ditujukan kepada banyak orang dalam hal ini bagi beneficiary/ stakeholders namun kemanfaatan atau keuntungan ini dibagikan kepada shareholders. Lebih lanjut, Satjipto menegaskan bahwa tidak ada tatanan sosial, termasuk didalamnya hukum yang tidak bertolak dari kearifan pandangan tentang manusia dan masyarakat.[15] Dengan demikian hukum yang dibuat oleh penguasa haruslah mendasarkan pada kearifan pandangan tentang manusia dan masyarakat.
Dalam konsep lembaga nir laba, manusia dan tepatnya masyarakatlah yang berkedudukan sebagai beneficiary, merupakan penikmat akhir dari kegiatan lembaga. Parameter yang dapat dikembangkan disini adalah siapa penikmat akhir dari kemanfaatan penggalangan sumber daya yang seharusnya berorientasi pada kepentingan beneficiary, dan/ atau prosentase laba yang signifikan diperuntukkan bagi kepentingan beneficiary dengan mengacu pada ketentuan yang ada serta konstitusi lembaga.
Dengan demikian hukum yang dikembangkan dalam sektor ini adalah hukum yang mendasarkan pada kemanfaatan dengan bertujuan bagi kebahagiaan dan kepentingan masyarakat (orang banyak).

Masalah Hukum Kegiatan Bisnis dalam Penggalian Sumber Daya pada Sektor Nir Laba
Dari beberapa pendapat dapat diketahui bahwa lembaga yang bergerak di sektor nir laba atau lebih dikenal dengan NGO memiliki karakteristik tertentu yang membedakan lembaga ini dengan lembaga lainnya. Disamping itu, terkhusus bagi lembaga yang masuk dalam kategori NGO Besar atau disebut BIG NGO memiliki karakteristik internal yang banyak dinilai kontradiksi dengan idiologi yang diperjuangkan, yaitu[16] :
lemah dalam leader turnover
lemah dalam check and balance system
lemah dalam transference
lemah keterikatan dengan basis rakyat
commercial business attitude
tambahan income dengan mekanisme profit making capitalism corporation
Karakteristik ke 5 dan 6 di atas menguatkan bahwa kegiatan NGO yang nota bene adalah berada pada sektor nir laba tidak bisa lepas dari kegiatan bisnis. Bahkan sering kali kegiatan bisnis ini menjadi kegiatan utama dari dari lembaga karena tanpa kegiatan ini maka lembaga tidak dapat menjalankan programnya. Pada beberapa sisi kegiatan bisnis yang menjadi kegiatan utama ini menggeser dan kontradiktif dengan ideologi yang diperjuangkan lembaga.
Salah satu BIG NGO yang berkedudukan di Jakarta misalnya memiliki lebih dari 10 perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT) yang bergerak dalam bisnis keuangan, penerbitan dan sebagainya.

Daftar Pustaka

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
[2] Theofransus Litaay, Dyah Hapsari Prananingrum, Umbu Rauta, Problematika Hukum Dalam Pengelolaan Sektor Nir Laba Menuju Good Corporate Governance, FH-UKSW, Salatiga,2004.
[3] Michael Norton, Menggalang Dana, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002, Hal.210

[5] Paper KHN: Problematika Hukum sektor nirlaba Menuju Good Corporate Governance oleh Theofransus Litaay, Dyah Hapsari P, Umbu Rauta, Salatiga,2004, hal. 1.
[5] Wawan Fahrudin, Akuntabilitas dan Transparansi LSM dalam Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Demokrasi di Indonesia, CIVIC Vol.1.No.2 Agustus 2003, Jakarta, hal. 38.
[6] Ri chad Hill, Menuju Kemandirian Keuangan, Yayasan Obor, Jakarta, 2001, iiv.
[7] Ibid.
[8] Philip Eldridge dalam Arif Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia No. 22 tahun 1990, hal. 512.
[9] Ri chad Hill, Menuju Kemandirian Keuangan, Yayasan Obor, Jakarta, 2001, hal iiv.
[10] Dahlan Thalib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta ,2004 , Hal. 63.
[11] Zaim Said, Makalah: Lima tantangan Mendasar LSM , disampaikan dalam pertemuan antar NGO di Jakarta:, PIRAC, 2004, hal.5.
[12] Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebagai Telaah Sosiologi”, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hal. 71.
[13] Darji Darmodiharjo dan Sidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004, hal. 117.
[14] ........hal.1
[15] Esmi Warassih, Opcit, hal. 71.
[16] Sigit W, Makalah Kemandirian Organisasi dan Program NGO, YIS – Surakarta, 2003, hal 4.

Tidak ada komentar: