Kamis, 29 Mei 2008

ASPEK HUKUM PENGGALANGAN SUMBER DAYA OLEH LEMBAGA NIRLABA

Abstract
Non profit sector is an environment where some activities take place not for pursuing o getting any profit. One of the doers of this sector is non profit organization. It is the main doer besides country and society. Problem arise from this sector are the sustainability of the organizations/institution and the business activity in terms of regulation. Therefore, it arise the awareness of law that can accommodate the various need of the society. In relation to this, the government has not been able to give the needed services to the society in all sectors then it is very important to have law protection and also a clear law solution for the non profit sector.
Pendahuluan
Lembaga nirlaba di dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai lembaga yang bergerak di sektor nir laba yang merupakan salah satu lembaga penting untuk menjalankan peran masyarakat atau salah satu elemen dari civil society yang berkedudukan sebagai intermediary (penengah) antara masyarakat dan negara/ pemerintah.
Berdasarkan peranannya maka dapat dipetakan beberapa pelaku yang berperan di dalam sektor nirlaba, yaitu: Organisasi/ lembaga nir-laba, sebagai pelaku utama aktifitas disktor ini; Negara/lembaga Pemerintah, sebagai pelaku yang memilikin peran mengatur aktifitas-aktifitas kemasyarakatan; Masyarakat, sebagai pihak yang atas namanya, kepadanya dan oleh dirinya aktifitas nir-laba dirasakan manfaatnya[1] sebagai beneficiary.
Nir laba itu sendiri berasal dari 2 kata yaitu nir-yang artinya tidak dan laba yang artinya mendapatkan laba[2] dengan demikian arti nirlaba adalah tidak mendapatkan laba. Dengan demikian lembaga nir laba dapat diberi pengertian sebagai suatu lembaga yang didalamnya terjadi berbagai aktivitas yang berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan yang berbeda ukurannya, yaitu bukan untuk memperoleh profit yang dibagikan untuk para anggota ataupun pengurus, bila dibandingkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga-lembaga yang bergerak untuk memperoleh profit[3]. Keuntungan yang diperoleh pada lembaga ini ditujukan bagi kepentingan beneficiary. Adapun lembaga yang memenuhi kriteria sebagai nir laba serta berkedudukan sebagai intermediary antara pemerintah dan masyarakat adalah NGO (non goverment organization).
Namun demikian pemahaman NGO yang merupakan lembaga di luar pemerintahan yang memiliki karakteristik utama tidak mengutamakan pencarian keuntungan , menurut penulis masih sangat luas. Dengan demikian lembaga dalam penulisan ini lebih spesifik pada adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Tantangan yang dihadapi oleh lembaga ini berkaitan dengan kedudukannya sebagai intermediary tersebut telah menjadi kajian banyak penulisan. Tantangan lain yang menarik untuk diungkap guna menopang kedudukan tersebut dan menjadi krusial dikarenakan lembaga ini berdasarkan sifat kegiatan yang dilakukannya merupakan lembaga nir laba, yaitu berkaitan dengan penggalangan sumber daya yang dilakukan guna membiayai pengeluaran kegiatan yang dilakukan serta untuk sustainibility lembaga. Secara umum alasan yang mendasari dilakukanya penggalangan sumber daya oleh lembaga ini adalah sebagai berikut.[4]
1. Agar dapat bertahan hidup (pada masa dana luar negeri sudah semakin sedikit, terutama bagi organisasi-organisasi kecil);
2. Agar mendapat dana untuk perluasan dan pembangunan;
3. Agar tidak terlalu tergantung pada lembaga donor asing atau sumber dana lain;
4. Agar dapat membangun kelompok pendukung dalam masyarakat;
5. Agar dapat mewujudkan organisasi yang kokoh dan berumur panjang

Karakter nir laba yang demikian dapat ditemukan pada lembaga swadaya masyarakat. Setidaknya ada 5 karakteristik dasar lembaga swadaya masyarakat yang lazim ditemukan di banyak negara, yaitu:[5]
1. Lembaga non pemerintah yang membedakannya dari birokrasi dan institusi kenegaraan;
2. Dijalankan atas dasar kesukarelaan (voluntery);
3. Menjalankan kegiatan tidak dengan tujuan mencari dan membagikan keuntungan (nir laba);
4. Melayani masyarakat umum;
5. Tidak berorientasi pada kekuasaan politik secara langsung.

Berdasarkan hasil penelitian tentang Problematika Hukum Di Sektor Nir Laba Menuju Good Corporate Governent yang dilakukan pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2004 dapat diperoleh based line data tentang karakteristik 9 (sembilan) NGO yang termasuk dalam kategori BIG NGO di Indonesia. [6] Dari karakteristik lembaga yang diteliti dapat diketahui bahwa masing-masing lembaga walaupun berada pada sektor nir laba namun tetap melakukan penggalangan sumber daya guna membiayai kegiatan nir laba yang dilakukannya. Adapun upaya penggalangan sumber dana tersebut, meliputi 2 konsep penggalangan sumber daya yang dikenal yaitu Fundraising dan penggalangan dana yang dilakukan sendiri atau bekerjasama dengan lembaga lain.
Penggalangan sumber daya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga di sektor nir laba tersebut dalam faktanya banyak memunculkan masalah-masalah hukum didalamnya. Dan permasalahan ini menjadi salah satu isu yang menarik untuk dicermati dalam memahami lembaga disektor nir laba secara menyeluruh. Karena penggalangan sumber daya sangat penting dilakukan LSM, walaupun LSM secara karakteristik adalah nir laba. Hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan berkaitan dengan penggalangan sumber daya tersebut adalah tetap mengedepankan prinsip responsibility, accountability, fairness dan transparency, yang secara singkat dijelaskan sebagai berikut:[7]
Responsibility. Dalam kaitan dengan organisasi nir-laba dapat ditafsirkan sebagai tanggungjawab untuk mengejar pencapaian tujuan organisasi atau kepentingan anggota seiring dengan tanggungjawab sosial kepada masyarakat;
Accountability. Dalam konteks organisasi nir laba adalah pertanggungjawaban kepada pendiri atau badan hukum terhadap pengelolaan lembaga.
Fairness. Dalam konteks konteks organisasi nir laba, maka perlu adanya jaminan perlakuan yang sama terhadap para pendiri atau anggota organisasi, maupun penerimaan manfaat.
Transparency. Mengenai disclosure dari setiap informasi yang menyangku kepentingan umum atau kepentingan pendiri dan pemegang kepentingan terhadap lembaga. Organisasi harus mengungkapkan informasi secara akurat, cukup dan tepat waktu.

Berdasarkan paparan di atas maka menarik untuk dikaji lebih mendalam mengenai permasalahan tentang bagai bentuk-bentuk penggalangan sumber daya fundraising dan/ atau produksi oleh LSM beserta alasan dipilihnya penggalian sumber daya tersebut ?


KERANGKA TEORI
Berdasarkan orientasi dari masing-masing lembaga Nir laba yang penulis ambilkan dari pendapat Philip Eldridge[8] tentang NGO Model sangat relevan dengan upaya penggalangan sumber daya yang dilakukan oleh setiap lembaga Nirlaba tersebut. Secara konsep penggalangan sumber daya pada lembaga Nirlaba meliputi :
Pertama, penggalangan dana atau fundraising yang berasal dari pihak lain di luar lembaga, baik pemerintah, korporasi ataupun pihak lain;
Kedua, sumber daya yang diproduksi oleh lembaga baik sendiri maupun bekerjasama dengan lembaga lain[9].
Bila NGO mengacu pada mode 1 (pertama) pada NGO mode tersebut, dimana berorientasi pada pengembangan masyarakat, akomodatif, serta hubungannya dengan NGO sponsor adalah semi-dependent maka sangat dimungkinkan 2 konsep penggalangan sumber daya di atas diterapkan pada lembaga tersebut. Sedangkan pada NGO Model yang ketiga dengan karakteristik sedemikian di atas, dapat disimpulkan sementara bahwa pada NGO yang demikian penggalangan sumber daya dilakukan secara mandiri, karena pada dasarnya funding dalam memberikan pendanaan selalu diikuti dengan persyaratan-persyaratan tertentu, sehingga lembaga tidak dapat secara mutlak independen dari kepentingan funding.
Bukan sekedar pilihan konsep penggalangan sumber daya tersebut yang menarik untuk dikaji namun juga dalam hal produksi barang dan atau jasa yang dipilih sebagai upaya penggalangan sumber daya, maka pilihan produksi yang dilakukan lembaga seharusnya relevan dengan orientasi lembaga tersebut. Orientasi lembaga tersebut tertuang secara tegas dalam konstitusi lembaga.
Kedudukan konstitusi bagi lembaga dapat dijelaskan dengan mendasarkan pendapat dari K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions yang menjelaskan tentang kedudukan konstitusi dimana menurut penulis dapat digunakan sebagai dasar berpijak untuk kedudukan konstitusi lembaga bagi lembaga nirlaba. Dijelaskan bahwa kedudukan konstitusi dalam suatu negara bisa dipandang dari dua aspek demikian pula konstitusi pada lembaga nirlaba, yaitu aspek hukum dan aspek moral. Konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derajat tertinggi (supremasi). Sehingga punya daya ikat bagi organ dalam lembaga, pengurus, pekerja lembaga maupun pendiri sebagai badan pembuat konstitusi itu sendiri. Konstitusi dilihat dari aspek moral landasan fundamental maka konstitusi berada di bawahnya sehingga tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral[10]. Bertolak dari pendapat di atas maka segala kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dalam menjalankan aktivitas khususnya penggalangan sumber daya haruslah tunduk pada konstitusi lembaga sebagai supreme law.
Perlu dicermati bahwa dikalangan NGO dikenal adanya pembagian lembaga yang berdasarkan pada visi, misi, tujuan dan badan hukum lembaga yang semua tertuang dalam konstitusi lembaga[11], maka pemisahan yang strict tersebut menurut penulis tidaklah tepat, hal ini dilihat secara faktual bahwa hampir semua lembaga melakukan kegiatan bisnis (prinsip-prisnsip bisnis diterapkan disini tidak berbeda dengan lembaga bisnis yang lain) yang keuntungan dari kegiatan bisnis tersebut tidak untuk kepentingan pengurus ataupun karyawan semata tapi diharapkan lebih bagi kepentingan beneficiary. Dengan demikian lembaga yang demikian menurut pendapat penulis adalah pelaku usaha dengan karakteristik yang melekat pada dirinya haruslah diperhatikan.
Dalam konsep lembaga nir laba, manusia dan tepatnya masyarakatlah yang berkedudukan sebagai beneficiary, merupakan penikmat akhir dari kegiatan lembaga. Parameter yang dapat dikembangkan disini adalah siapa penikmat akhir dari kemanfaatan penggalangan sumber daya yang seharusnya berorientasi pada kepentingan beneficiary, dan/ atau prosentase laba yang signifikan diperuntukkan bagi kepentingan beneficiary dengan mengacu pada ketentuan yang ada serta konstitusi lembaga.
Dari beberapa pendapat dapat diketahui bahwa lembaga yang bergerak di sektor nir laba khususnya LSM memiliki karakteristik tertentu yang membedakan lembaga ini dengan lembaga lainnya. Dan perlu lebih dicermati bahwa lembaga yang masuk dalam kategori LSM Besar memiliki karakteristik internal yang banyak dinilai kontradiksi dengan idiologi yang diperjuangkan, yaitu[12] :
lemah dalam leader turnover
lemah dalam check and balance system
lemah dalam transference
lemah keterikatan dengan basis rakyat
commercial business attitude
tambahan income dengan mekanisme profit making capitalism corporation
Karakteristik ke 5 dan 6 di atas menguatkan bahwa kegiatan LSM yang nota bene adalah berada pada sektor nir laba tidak bisa lepas dari kegiatan bisnis. Bahkan sering kali kegiatan bisnis ini menjadi kegiatan utama dari dari lembaga karena tanpa kegiatan ini maka lembaga tidak dapat menjalankan programnya. Pada beberapa sisi kegiatan bisnis yang menjadi kegiatan utama ini menggeser dan kontradiktif dengan ideologi yang diperjuangkan lembaga.
Salah satu LSM Besar yang berkedudukan di Jakarta misalnya memiliki lebih dari 10 perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT) yang bergerak dalam bisnis keuangan, penerbitan dan sebagainya.

Analisis
Meskipun semua LSM menyandang label “Nir-laba”, namun hampir semuanya melakukan atau bahkan memiliki unit usaha (entitas bisnis). Namun yang membedakan dari entitas bisnis lainnya maka unit usaha itu dilakukan bukan untuk mengejar keuntungan semata tetapi untuk membantu menopang aktifitas pokok dari lembaga tersebut. Kegiatan bisnis yang dilakukan mereka ada yang berkaitan ataupun menopang secara langsung kegiatan Nir-labanya, namun adapula yang tidak terkait sama sekali.
Berkaitan dengan bentuk hukum badan usaha yang dipilih dalam melakukan kegiatan komersial ini bisa berbentuk satu badan hukum tertentu yaitu Perseroan Terbatas (PT), maupun dalam bentuk perusahaan yang tidak berbadan hukum. Lembaga yang bergerak di bidang kesehatan, dalam melakukan kegiatan komersial, dijalankan bersama-sama dalam kegiatan Nir-labanya (tanpa membentuk satu badan usaha terpisah). Disamping membentuk beberapa badan usaha mandiri sering kali LSM melakukan kegiatan bersifat komersial berbarengan dengan kegiatan Nir-laba yang dilakukannya, sebagai contoh; jasa konsultasi yang diberikan oleh lembaga bisa bersifat Nir-laba, namun dapat pula dikomersilkan, ataupun kegiatan pelatihan, penelitian dan sebagainya. Dari lembaga Nir-laba yang menyelenggarakan kegiatan komersial dengan cara membentuk PT dapat dicermati bahwa hanya sebagian kecil sahamnya yang dimiliki oleh pihak lain. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pemegang saham yang lain hanya sekedar untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengharuskan sebuah PT memiliki minimal dua (2) pemegang saham. Dengan kondisi pemegang saham seperti itu, maka yang diharapkan oleh lembaga Nir-laba ialah keuntungan PT dapat diterima oleh lembaga Nir-laba untuk kepentingan lembaga tanpa adanya pembagian keuntungan dengan pihak lain di luar lembaga yang bersangkutan. Praktek yang demikian sebenarnya merupakan suatu upaya menyiasati persyaratan yang ditentukan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Konsekwensi dari praktek yang demikian menyebabkan PT sebagai satu badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban hukum yang mandiri yang terpisah dari pemiliknya tidak terwujud.
Beberapa NGO memilih bentuk hukum lembaganya koperasi yang menurut penulis pilihan bentuk hukum ini menjadi tidak tepat. Karena secara esensial tujuan dari dua lembaga ini adalah berbeda walaupun secara factual pada beberapa LSM, koperasi dipilih sebagai bentuk hokum yang mewadahi kegiatan bisnisnya. Pada koperasi tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kepentingan anggota. Adapun anggota tidak dikenal dalam LSM, karena kegiatan LSM lebih dilakukan guna kepentingan beneficiary. Dari sisi pendanaan, pada koperasi dana atau lebih dikenal sebagai modal diperoleh dari anggota, penyertaan pihak lain ataupun pinjaman. Adapun pada LSM, dana dapat diperoleh dari kegiatan fundraising ataupun dari kegiatan pencarian dana oleh lembaga. Dari dua ciri tersebut maka antara LSM dan koperasi memiliki perbedaan yang mendasar. Namun demikian berdasarkan pada data lapangan, dapat dianalisis bahwa pada lembaga ini, koperasi merupakan bentuk hukum dari kegiatan penggalangan sumber daya yang dilakukan adapun bentuk hukum lembaganya adalah prserikatan perdata.
Permasalahan mendasar lainnya yang perlu diperhatikan dalam penggalangan sumber daya oleh LSM adalah dari bisnis yang dilakukan lembaga tersebut adalah perlunya ciri khas tertentu yang bisa membedakannya dengan kegiatan bisnis yang dilakukan oleh lembaga bisnis lain yang murni bermotif Laba. Untuk itu dapat dilihat dari besarnya kegiatan bisnis yang dilakukan jika dibandingkan dengan kegiatan utama lembaga Nir-laba dan tujuan dari diselenggarakannya kegiatan bisnis tersebut. Seberapa besar kegiatan bisnis dilakukan dapat dibandingkan dengan kegiatan utama dari lembaga tersebut, apakah lebih menekankan kegiatan bisnisnyakah atau kegiatan Nir-labanya? Terlebih banyak kegiatan bisnis yang dilakukan oleh lembaga-lembaga ini yang tidak berhubungan dengan kegiatan lembaga, maka implikasi yang muncul adanya kecenderungan kuat bagi bisnis itu sendiri untuk melemahkan kekuatan kerja utama lembaga Nir-laba. Sehingga menurut hemat penulis perlu adanya tuntutan yang lebih tinggi bagi akuntabilitas lembaga-lembaga tersebut dalam kaitannya dengan kegiatan komersial yang dilakukan .
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa pada beberapa sisi kegiatan bisnis yang menjadi kegiatan utama lembaga, menggeser dan kontradiktif dengan ideologi yang diperjuangkan lembaga. Berdasarkan kondisi di atas maka diperlukan satu batasan agar kegiatan bisnis NGO tetap pada koridor yang seharusnya. Adapun pada peraturan perundangan terkhusus dengan merujuk pada UU Yayasan No. 16 Tahun 2001 jo UU No. 28 tahun 2004 maka tidak ditemukan pengaturan secara pasti mengenai kegiatan bisnis apa yang boleh dilakukan oleh yayasan. Walaupun haruslah dipahami bahwa bentuk hukum dari LSM bisa dalam bentuk yayasan maupun perserikatan perdata. Namun sebagian besar LSM di Indonesia mengambil bentuk hukum yayasan dan hanya sebagian kecil dari lembaga tersebut yang mengambil bentuk hukum lainnya. Khususnya dalam ketentuan tentang Yayasan, diatur bahwa Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha (pasal 3:1). Namun demikian yang perlu diperhatikan bahwa dalam hal Yayasan melakukan kegiatan bisnis guna penggalangan dana bagi lembaga maka perlu diperhatikan pengaturan dalam UU Yayasan sebagai bentuk pelaksanaan prinsip responsibility, sebagai berikut.
1. Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan. (pasal 7:1)
2. Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan. (pasal 7:2)
3. Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2). (pasal 7:3)
Kegiatan yang di larang dilakukan dalam pengelolaan Yayasan adalah sebagai berikut :
Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas
Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan.
Anggota Pembina, Pergurus, dan Pengawas yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas baik pada badan usaha yang didirikan oleh yayasan ataupun pada badan usaha dimana yayasan melakukan penyertaan
Terhadap pelanggaran dari pengaturan yang termuat dalam UU yayasan maka dimungkinkan adanya Pemeriksaan Yayasan. Pemeriksaan terhadap Yayasan dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permohonan tertulis pihak ketiga yang berkepentingan disertai alasan, atau berdasarkan penetapan Pengadilan atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum untuk mendapatkan data atau keterangan. Pemeriksaan dapat dilakukan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ Yayasan :
Melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar;
Lalai dalam melaksanakan tugasnya;
Melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan atau pihak ketiga; atau
Melakukan perbuatan yang merugikan negara.
Dengan demikian Anggaran Dasar (AD) lembaga sebagai konstitusi lembaga tetaplah menjadi pedoman kegiatan lembaga termasuk penggalian sumber daya lembaga. Karena AD sebagai konstitusi lembaga bila dilihat dari aspek hukum mempunyai derajat tertinggi (supremasi), sehingga punya daya ikat bukan hanya bagi pelaksana lembaga tetapi juga mengikat bagi para pengurus, pengawas dan pembina. Bertolak dari pendapat di atas maka segala kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dalam menjalankan aktivitas bisnis guna penggalangan sumber daya bagi lembaga haruslah tunduk pada Peraturan perundangan dan Anggaran Dasar sebagai konstitusi lembaga sebagai supreme law.
Adapun pilihan penggalangan sumber daya oleh lembaga lebih didasarkan atas beberapa alasan dasar, yaitu:
1. Berdasarkan ideologi, pemikiran ini dapat ditemukan salah satu contohnya adalah lembaga USC Satunama yang mendasarkan pada demokrasi. Konsekwensi dari pemikiran inilah maka pada lembaga ini tidak akan pernah membuat unit bisnis yang terpisah, sehingga diharapkan kegiatan penggalian dana yang dilakukan tidak bertentangan dengan idiologi yang diambil. Walaupun lembaga ini memiliki perseroan terbatas (PT) yang bergerak dibidang penyiaran radio, namun pembentukan PT ini dilakukan berdasarkan regulasi yang ada bahwa penyelenggara penyiaran radio hanya dapat dilakukan dalam 3 bentuk yaitu radio komunitas, radio swasta dan PT. Dengan demikian pilihan yang dapat diambil untuk bentuk hukumnya adalah PT. Namun demikian pendirian radio ini tidak dilakukan guna pemupukan keuntungan karena dalam pelaksanaannya radio ini tidak memperdengarkan pengiklanan yang bersifat komersial.
2. Berdasarkan pada isu dengan dasar / latar belakang :
a. alasan praktis untuk mendapatkan dana dalam rangka keberlanjutan
b. adanya pergeseran visi misi karena saat ini NGO tidak lagi murni filantrophy namun ada aktifitas yang for profit.
c. NGO saat ini sudah menyerupai Company salah satunya munculnya tanggung jawab hukum terdapat karyawan yang bekerja padanya
Sebagai salah satu contoh adalah NGO, yang pada awalnya merupakan yang mendasarkan pada kegiatan philantropis untuk membantu mayarakat. Kemudian berlanjut menjadi rumah sakit. Berdasarkan kebutuhan isu ( “trens”) terjadilah pergeseran visi misi dengan munculnya bencana alam dan sebagainya maka dibentuklah Unit yang bergerak dibidang tersebut.
Ataupun NGO yang pada awalnya merupakan LSM yang bervisi pada kesejateraan anak dan kesehatan, kemudian berubah visi dan misinya menjadi Koperasi yang bergerak pada micro finance karena pergeseran isu yang terjadi saat ini. Dan di sisi yang lain NGO sering kali berubah menjadi satu company yang sangat besar dengan jumlah karyawan ribuan sehingga melahirkan tanggung jawab hukum yang mendasarkan pada hukum ketenagakerjaan.
Dari pilihan penggalangan sumber daya yang dilakukan akan menimbulkan implikasi terhadap lembaga. Berdasarkan hal tersebut di atas, implikasi dari pilihan upaya pengalangan sumber daya pada hubungan hukum yang terjadi antara lembaga dengan masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut. Masyarakat yang pada awalnya berkedudukan sebagai beneficiary (penerima masyarakat) khususnya pada lembaga yang penggalangan dananya mendasarkan pada isu, menjadikan masyarakat sebagai nasabah yang mendasarkan pada hubungan perdata (perbankan) yang mendasarkan pada kontrak perdata. Kondisi ini berimplikasi pada sanksi yang dimunculkan bukan lagi pada sosial namun sanksi hukum, hubungan yang terjalin adalah hubungan hukum yang sarat dengan aturan-aturan positif yang mengikat kedua belah pihak. Pada lembaga yang bergerak pada kegiatan kesehatan kondisi yang sama terjadi. Hubungan yang terjadi menjadi hubungan hukum perdata antara pasien dan rumah sakit. Masyarakat lebih berkedudukan sebagai pasien yang terikat pada hukum kesehatan dan hukum perdata.

Kesimpulan
Bentuk-bentuk penggalangan sumber daya fundraising dan/ atau produksi oleh lembaga sangat didasari atas alasan yang menjadi dasar dipilihnya penggalian sumber daya tertentu oleh lembaga nirlaba.tersebut.
Secara sederhana dapat dipetakan 2 (dua) alasan besar yang mempengaruhi pilihan bentuk penggalangan sumber daya pada lembaga nir laba, yaitu : karena alasan ideologi dan karena alasan isu sebagai dengan dasar pengambilan bentuk penggalangan sumber daya. Pada lembaga yang mendasarkan pada alasan ideologi, maka penggalangansumber daya yang dilakukan cenderung tidak terpisah dari kegiatan lembaga atau tidak dalam entitas bisnis tertentu. Hal ini sangat berbeda dengan pilihan yang mendasarkan pada isu tertentu maka kegiatan penggalangan sumber daya lembaga cenderung dengan membuat satu unit bisnis ataupun unincorporatoin.

I. Daftar Pustaka
Buku:
Adam Podgorecki dan Cristoper J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Allan J. Stitt, Mediation, a Practical Guide, Cavendish Publishing, London, 2004.
Arief Budiman, State And Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia-No. 22, .
Darji Darmodiharjo dan Sidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004.
John Clark, NGO dan Pembangunan Demokrasi, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995.
George Soros, Krisis Kapitalisme Global, Qalam, Yogyakarta, 2002.
Michael Norton, Menggalang Dana, Yayasan Obor, Jakarta, 2002.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2003.
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, HuMa, Jakarta, 2003.
Ri chad Hill, Menuju Kemandirian Keuangan, Yayasan Obor, Jakarta, 2001, iiv.
Soerjono Soekamto, Metodologi Penelitian Hukum Empiris, IND-HIL-CO, Jakarta, 1990,
Theo Litaay, Dyah Hapsari, Umbu Rauta, Karakteristik Dan Problematika Hukum Di Sektor Nir Laba Menuju Good Corporate Governance, FH-UKSW, Salatiga, 2004
Wawan Fahrudin, Akuntabilitas dan Transparansi LSM dalam Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Demokrasi di Indonesia, CIVIC Vol.1.No.2 Agustus 2003, Jakarta.
Jurnal:
Membongkar Proyek-proyek ORNOP, Wacana Edisi 16 tahun 2004, Insist,
Yogyakarta.

Makalah
Sigit W, Makalah Kemandirian Organisasi dan Program NGO, YIS – Surakarta, 2003,
Zaim Saidi, Lima Tantangan Mendasar LSM, PIRAC, Jakarta, 2004.



[1] Paper KHN: Problematika Hukum sektor nirlaba Menuju Good Corporate Governance oleh Theofransus Litaay, Dyah Hapsari P, Umbu Rauta, Salatiga,2004, hal. 1.
[1] Wawan Fahrudin, Akuntabilitas dan Transparansi LSM dalam Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Demokrasi di Indonesia, CIVIC Vol.1.No.2 Agustus 2003, Jakarta, hal. 38.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
[3] Theofransus Litaay, Dyah Hapsari Prananingrum, Umbu Rauta, Problematika Hukum Dalam Pengelolaan Sektor Nir Laba Menuju Good Corporate Governance, FH-UKSW, Salatiga,2004.
[4] Michael Norton, Menggalang Dana, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002, Hal.210

[6] Baca laporan penelitian “Problematika Pengelolaan Lembaga Nirlaba Berdasarkan Good Corporate Governance”, Theofransus Litaay, Dyah Hapsari, Umbu Rauta, FH UKSW, 2004.
[7] Ibid.
[8] Baca Philip Eldridge dalam Arif Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia No. 22 tahun 1990, hal. 512.
[9] Ri chad Hill, Menuju Kemandirian Keuangan, Yayasan Obor, Jakarta, 2001, hal iiv.
[10] Dahlan Thalib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta ,2004 , Hal. 63.
[11] Zaim Said, Makalah: Lima tantangan Mendasar LSM , disampaikan dalam pertemuan antar NGO di Jakarta:, PIRAC, 2004, hal.5.
[12] Sigit W, Makalah Kemandirian Organisasi dan Program NGO, YIS – Surakarta, 2003, hal 4.

KETIDAK ADILAN DALAM PERDAGANGAN KOMODITAS PERTANIAN

Abstrak


The study about injustice that happened to the farmer, still in a low level. Infact, the condition of the marginalized of the farmer, happened because of the injusticely that faced by the farmer, because farmers are weak from the financial side, if they have to face the buyer, or else, the government is not stand beside the farmers by their policies, which is to prosperous and the protect the civilian.
In this journal, will be show the injustice that has to be faced by the farmer, which is related by the vegetables trade di the location of the reseach.

PENDAHULUAN

Studi tentang ketidakadilan yang dialami oleh petani, masih minim dilakukan. Walaupun secara faktual, kondisi termarginalisasinya petani dikarenakan ketidakadilan yang dialaminya yang disebabkan karena petani lemah dari sisi ekonomi bila berhadapan dengan pembeli (pelaku usaha) maupun tidak berpihaknya pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya untuk lebih mensejahterakan dan melindungi petani.
Dalam tulisan akan memaparkan tentang ketidakadilan yang dihadapi petani berkaitan dengan perdagangan sayur. Lebih spesifik ketidakadilan tersebut telah ada dan terjadi dalam kontrak jual-beli dalam system perdagangan komoditas pertanian di banyak tempat.
Kontrak merupakan ”Hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.” Menurut KUHPerdata dalam Pasal 1457 menjelaskan bahwa: jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.[1]
Lebih lanjut disyaratkan bahwa perdagangan dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai kesepakatan tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan kehendak kedua belah pihak. Kesepakatan yang terjadi harus dalam keadaan seimbang karena jika kesepakatan terjadi dalam keadaan tidak seimbang maka keadaan itu akan menimbulkan keadaan Undue Influence. Keadaan dimana lemahnya kedudukan salah satu pihak sehingga dengan kelemahan tersebut dijadikan situasi oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Undue Influence adalah pelaksanaan pengontrolan secara tidak sepatutnya oleh orang yang menguasai pengontrolan itu untuk keuntungan dirinya atau orang lain, sehingga perbuatan orang yang dikuasainya atau dikontrolnya, dalam arti sepenuhnya adalah bukan perbuatan yang sesuai dengan kemauannya sendiri.[2] Penyalahgunaan keadaan yang terjadi karena adanya keunggulan ekonomi, penyalahgunaan keunggulan ekonomi terletak pada Inequality of bargaining power, yaitu ketidakseimbangan kekuatan dalam melakukan tawar-menawar atau perundingan antara pihak ekonomi kuat terhadap pihak ekonomi lemah.[3] Sehingga dalam suatu kontrak dapat menjadi tidak patut atau tidak adil bila kontrak itu terbentuk pada suatu hubungan atau keadaan yang tidak seimbang. Karena kesepakatan yang terjadi diantara kedua pihak dalam kedudukan yang seimbangan antara kedua belah pihak maka keadilan antara keduanya dapat tercapai. Ketidakseimbangan kedudukan dari kedua belah pihak dalam melakukan perjanjian namun kesepakatan tetap terjadi oleh karena adanya keunggulan ekonomi, merupakan salah satu faktor terbentuknya undue influence. Kenyataan tersebut yang banyak terjadi dalam perjanjian jual-beli sayur antara petani dan tengkulak sayur.
Jumlah pendapatan sayur tidak dapat dijawab secara pasti karena akan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu keberhasilan panen dan harga pasar. Panen berhasil jika hasil panen sesuai dengan perhitungan, namun gagal panen juga tidak dapat dihindari sebab terdapat beberapa penyebab terjadinya gagal panen yang dialami oleh petani. Kegagalan panen dapat disebabkan beberapa hal antara lain terserang hama, kekurangan obat-obatan dan faktor cuaca. Dari ketiga faktor tersebut yang paling mempengaruhi kegagalan panen adalah faktor cuaca karena dengan cuaca yang tidak dapat diprediksi kadang curah hujan yang banyak sangat mengurangi kuantitas dan kualitas komoditas pertanian, dengan curah hujan yang banyak juga memerlukan obat-obatan yang lebih agar tetap menjaga kualitas komoditas ini.
Faktor harga sangat mempengaruhi hasil pendapatan petani, jika harga pasar rendah maka pendapatan petani juga ikut rendah, sebagai misal bila apabila harga kentang Rp. 2.000,-/kg maka jumlah pendapatan yang bisa didapat sebesar ( 1ton x 2.000) = Rp. 2.000.000,- . Jumlah pendapatan tersebut belum dikurangi dengan biaya penjualan. Begitu juga untuk sayur kubis, apabila harga kubis Rp. 1.000,-/kg maka jumlah pendapatan petani sebesar ( 1,5 ton x 1000) = Rp. 1.500.000,-. Jumlah pendapatan tersebut sama halnya juga jika berhasil dalam panen dan harga pasar standar Rp.1000,- untuk 1 kg kubis. Namun yang terjadi harga di pasar untuk sayur kentang bisa turun mencapai Rp. 1.000, - untuk 1 kg kentang dan bahkan kurang dari Rp.1000,- begitu juga harga terhadap sayur kol bahkan bisa sampai mencapai harga Rp. 300,00 untuk 1 kg kubis. Dalam keadaan harga yang sangat rendah tersebut membuat petani kesulitan karena sama sekali tidak ada keuntungan terlebih untuk menyisihkan guna modal tanam pada musim tanam berikutnya.
Dalam melakukan penjualan sayur petani melakukan dua cara yaitu:
Pertama, Petani menjual sendiri hasil panennya kepasar, penjualan ini dilakukan melihat pada saat panen petani masih memiliki sisa modal untuk transportasi menjual sendiri hasil panennya kepasar, terkecuali itu penjualan hasil panen yang dilakukan sendiri kepasar memiliki harga pasar yang pasti artinya bahwa tawar menawar harga langsung kepada konsumen sehingga tidak ada potongan-potongan dan petani mendapati harga yang pantas. Namun cara ini sangat jarang dilakukan oleh petani karena mengingat biaya transportasi yang digunakan untuk menjual menjadi hambatan.
Kedua, Petani menjual hasil panennya kepada tengkulak, penjualan hasil panen melalui tengkulak merupakan alternatif yang cukup membantu petani dalam mengurangi kerugian. Namun demikian potongan berat sayur harus menjadi tanggungan petani, hal tersebut dikarenakan tengkulak juga harus mengeluarkan biaya-biaya untuk penjualan hasil panen, diantaranya untuk biaya transportasi, biaya panggul pasar (kuli), biaya perawatan hasil panen sebelum dijual (mencuci, menata dalam kranjang) dan pasti ditambah biaya tenaga tengkulak sendiri untuk menjual hasil panennya.
Cara kedua sering digunakan oleh petani sayur karena melihat perdagangan komoditas pertanian khususnya sayur sangat tinggi sehingga jika hasil panen tidak segera dijual maka akan tidak laku karena adanya persaingan yang sangat banyak dari wilayah lain, dan apabila komuditas sayur semakin banyak diperdagangan maka harga sayur akan turun terkecuali itu cara kedua digunakan karena melihat ketahanan sayur yang tidak dapat bertahan lama maka petani harus segera menjual hasil panennya sebab jika kelamaan sayur akan membusuk.
Penjualan sayur kepada tengkulak sebenarnya tidak menguntungkan bagi petani, mulai dari rendahnya harga tawar dari tengkulak ditambah lagi potongan 10% dari bobot timbangan sayur. Potongan 10% ini sudah menjadi kebiasaan perdagangan yang tidak tahu kapan dimulainya, potongan ini sangat merugikan petani. Misalnya jika harga kubis Rp. 1.000,-/kg dan petani mendapat hasil 1,5 ton maka hasil yang diterima oleh petani hanya 1350 kg x 1000 = Rp. 1. 350.000,-. Dari Rp. 1.350.000,- tersebut jika dikurangi modalnya Rp. 570.000,- maka pendapatan petani sebesar Rp. 780.000 itu untuk 3 bulan. Pendapatan tersebut jika menghasilkan 1 ton dan harga pasar 1.000/kg bagaimana jika harga pasar hanya mencapai 300/kg (300 x 1350) = Rp. 405.000,- angka pendapatan yang sangat merugikan bagi petani yang bahkan modalnya saja tidak kembali hal tersebut juga terjadi pada sayur yang lain jika harga sayur turun. Karena adanya keadaan yang mengharuskan segera terjualnya sayur maka kesepakatan tetap terjadi dengan adanya potongan yang ada. Setelah terjadi kesepakan harga antara petani dan tengkulak sayur dalam pembayaran terdapat dua cara yang dilakukan yaitu jika hasil sayur telah disepakati pembayaran secara tunai maka pembayaran dilakukan setelah kesepakatan terjadi, tetapi jika terjadi pembayaran disepakati beberapa hari oleh tengkulak maka kewajiban tengkulak belum langsung selesai dengan petani.
Berdasarkan paparan di atas, maka studi terhadap ketidak adilan dalam perdagangan komoditas pertanian menjadi menarik untuk dikritisi lebih mendalam.
Berdasarkan uraian maka dalam tulisan ini akan menggambarkan ketidakadilan dalam perdagangan komoditas pertanian.
Kerangka Teori
Menurut Ulpianus (± 200 AD), “justitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi”. Keadilan adalah kehendak yang ajeg dan menetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Dalam bahasa Inggris terjemahannya berbunyi “to give everbody his owm” atau memberikan kepada setiap orang yang menjadi haknya. Inti dari pengertian tersebut bahwa memberikan masing-masing haknya dan tidak lebih, tapi juga tidak kurang daripada haknya.[4]
Dari pengertian tersebut ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan, yaitu: keadilan tertuju pada orang lain, keadilan harus ditegakkan, dan keadilan menuntut persamaan. Tiga unsur hakiki yang terkandung dalam pengertian keadilan ini perlu dijelaskan lebih lanjut, bahwa:
1. Keadilan selalu tertuju pada orang lain atau keadilan selalu ditandai other-directendness.
2. Keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan.
Dengan demikian berdasarkan pendapat di atas maka keadilan tidak dapat hanya diharapkan saja atau dianjurkan saja. Keadilan mengikat setiap orang, sehingga setiap orang mempunyai kewajiban. Ciri kedua ini disebabkan karena keadilan selalu berkaitan dengan hak yang harus dipenuhi, pada ciri kedua ini menekankan bahwa dalam konteks keadilan selalu berurusan dengan hak orang lain. Kalau kita memberikan sesuatu karena alasan keadilan, kita selalu harus dan wajib memberikannya. Tidak demikian bila kita memberikan sesuatu karena alasan lain, kita tidak wajib untuk memberikannya
Keadilan dalam ciri ketiga dapat digambarkan sebagai Deuti Iustitia yang memegang timbangan dalam tangannya dalam mitologi Romawi, digambarkan juga dengan mata tertutup dengan kain. Sifat terakhir ini menunjuk kepada ciri ke 3 (tiga), bahawa keadilan harus dilaksanakan terhadap semua orang tanpa melihat siapa orangnya.
Aristoteles memberikan arti keadilan sebagai, “ius suum cuique tribuendi” adalah memberikan masing-masing bagiannya. Dengan demikian keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan, karena keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Pendapat Aristoteles juga memunculkan adanya dua macam keadilan yaitu keadilan distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan melainkan kesebandingan. Dan keadilan commutatief ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.[5]
Menarik pengertian keadilan yang dikemukakan oleh O. Notohamidjojo, keadilan itu menuntut perlawanan terhadap kesewanang-wenangan kepada manusia, keadilan memberikan kepada masing-masing haknya, dengan kata lain keadilan merupakan postulat (tuntutan atau dalil, yang tidak dapat dibuktikan, yang harus diterima untuk memahami fakta atau peristiwa tertentu) bagi perbuatan manusia. Karena keadilan menuntut untuk melihat sesama manusia sebagai manusia, mewajibkan memanusiakan manusia (Vermenschlichung den Menschen).[6] Keadilan menempatkan fihak lain sebagai subyek seperti kita sendiri ingin juga diakui sebagai subyek. Keadilan menuntut perlakuan seperti kita sendiri diperlakukan. Keadilan mengucilkan kesewenang-wenangan.
Berdasarkan tiga pendapat di atas paling tidak kita dapat memahami apa yang dimaksudkan dengan keadilan. Guna melengkapi pendapat di atas, maka perlu dikemukakan prinsip-prinsip keadilan yang perlu dipertahankan, menurut John Rawls sebagai berikut:[7]
a. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas yang dapat dicocokkan dengan kebebasan-kebebasan yang sejenis untuk semua orang; dan
b. Ketidaksamaan social dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga:
1) Menguntungkan terutama orang-orang yang minimal beruntung, dan serentak juga.
2) Melekat pada jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang dalam keadaan yang menjamin persamaan peluang yang fair.

Pendapat John Rawls sangat relevan digunakan sebagai dasar dalam menganalisis masalah ketidakadilan dalam perjanjian jual-beli sayur.
Konsep keseimbangan, Blacks Law Dictionary menjelaskan mengenai
Equality: “The Condition of possessing substantially the same rigt, privileges, and immunities, ang being liable to substantially the same duties “equality” guaranfeed under squal protection clause is equality under the same conditions and among persons similiary situated: classification must not be arbitary and must be based upon same difference in classes having substantial relation to legitimate objects to be accomplished”.[8]
Dalam memberikan pemahaman lebih dalam mengenai keseimbangan penulis melihat sejarah munculnya keseimbangan. Ajaran mengenai kesederajatan hukum bermula dari ajaran hukum alam Stoa yang atas nama akal yang universal, mendalilkan kesederajatan individu-individu, ras-ras dan bangsa-bangsa.
Dalil modern mengenai kesederajatan hukum berasal dari zaman revolusi Perancis dan revolusi Amerika. Dalam arti formal dan umum, persamaan adalah dalil tentang keadilan.[9] ”keadilan distributive”, dari Aristoteles menuntut perlakuan yang sama bagi mereka yang sederajat di depan hukum.
Bertumpu dari apa yang dimaksudkan dengan keadilan maka ketidak adilan adalah kebalikan dari keadilan. Bila unsur-unsur dari keadilan adalah adanya bagian yang harus diberikan, adanya persamaan tetapi bukan penyamarataan dan adanya hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas sebagai sesama manusia, yang pada hakekatnya bahwa keadilan merupakan kondisi yang menciptakan diberikannya kepada masing-masing bagiannya. Dengan demikian penulis mendefinisikan ketidakadilan adalah kondisi atau keadaan dimana bagian yang menjadi haknya tidak diberikannya karena adanya pembatasan terhadap kebebasan seseorang sehingga terjadi kesewenang-wenangan yang menciptakan tidak adanya persamaan sesama manusia.

Analisis terhadap Ketidakadilan dalam Perdagangan Komoditas Pertanian
Dalam perdagangan komoditas pertanian antara petani dan tengkulak terjadi adanya ketidakseimbangan kedudukan antara petani dan tengkulak dalam penawaran. Kekuatan tawar tengkulak lebih besar dari pada petani, adapun lemahnya kekuatan tawar dari petani disebabkan karena adanya kesulitan bahwa secara ekonomi petani kehabisan modal untuk menjual sayur keluar daerah karena modal yang dimilikinya telah digunakan untuk biaya produksi. Dengan tidak dimilikinya modal sehingga petani menjual sayurnya kepada tengkulak yang merupakan pembeli terdekat dan tercepat yang dapat ditemui oleh petani.. Disamping itu, tidak dimilikinya kemampuan mendapatkan akses penjulan sayur karena kondisi geografis yang sering kali kurang mendukung dan ditopang dengan pendidikan yang kurang dari petani menjadikan kebutuhan adanya tengkulak sangat dibutuhkan. Kesulitan lain bahwa adanya penetapan harga dari tengkulak serta adanya hubungan peminjaman antara petani dan tengkulak menambah posisi petani rendah. Sedangkan diposisi lain bahwa tengkulak selalu dalam keadaan dalam posisi tinggi, dimana modal yang dimiliki menjadi faktor penting dalam pencarian akses penjualan, ditambah adanya kebutuhan akan tengkulak sangat dibutuhkan. Dalam perjanjian jual-beli sayur antara petani dan tengkulak terjadi pemanfaatan keadaan oleh tengkulak dari petani untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dan keadaan ini mengakibatkan kerugian yang harus diterima petani.
Ketidakadilan dalam hal ini dihubungkan dengan asas-asas dalam hukum kontrak seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas itikat baik dan asas keseimbangan. Asas-asas tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Dengan adanya asas hukum dalam sebuah kaedah yang saling berhubungan maka tujuan hukum untuk menciptakan keadilan dapat tercapai. Keadilan merupakan tujuan setiap dibentuknya peraturan hukum dan keadilan menuntut adanya persamaan antar manusia. Dengan adanya persamaan maka tidak akan ada kesewenang-wenangan terhadap manusia karena setiap orang mempunyai kebebasan untuk mendapatkan keadilan. Adanya persamaan mewujudkan adanya kebebasan yang sama sebagai manusia sehingga menghilangkan kesewenang-wenangan terhadap sesama manusia. Unsur-unsur yang terkadung tersebut harus ada untuk mencegah adanya ketidakadilan. Sehingga ketidakadilan terjadi dalam hal unsur-unsur dalam keadilan tidak diberikan, dengan adanya ketidakadilan bukti yang kongkrit adalah adanya kerugian yang diderita yang seharusnya tidak terjadi.
Dalam kontrak jual-beli sayur tersebut bahwa pihak lemah dalam hal ini petani hanya dianggap sebagai obyek dalam pengambil keuntungan sebesar-besarnya oleh tengkulak. Kelemahan dari petani adalah kurangnya modal dan pengetahuan serta pengalaman dalam memasarkan sayur sehingga tidak dimilikinya akses penjualan sayur bila dibandingkan dengan tengkulak Kelemahan tersebut menyebebkan adanya ketidakseimbangan dalam melakukan penawaran yang menyebabkan tidak adanya kebebasan bagi petani untuk melakukan penawaran yang pantas, sehingga memunculkan kerugian bagi petani yang berbentuk rendahnya harga tawar dari tengkulak. Kerugian inilah yang menjadi ketidakadilan bagi petani sayur.
Asas kebebasan berkontrak seharusnya dibangun atas asumsi dasar bahwa semua orang mempunyai kedudukan, kemampuan ekonomi dan sosial yang sama kuat serta kebebasan tanpa adanya keterpaksaan Namun dalam kenyataannya para pihak yang terlibat dalam perjanjian tidak selalu sama kuatnya, malahan sering sangat berbeda. Dimana kekuatan petani untuk melakukan penawaran tidak seimbang yang mengakibatkan petani memiliki kekuatan penawaran yang lebih lemah karena adanya keadaan yang mamaksa dari petani. Ketidakseimbangan ini tidak boleh dianggap sebagai hal yang wajar karena adanya kebebasan, tetapi harus menjadi perhatian dalam membuat perjanjian, hal tersebut karena ketidakseimbangan tersebut akan mengakibatkan perjanjian tidak adil. Dengan adanya ketidakadilan maka penggunaan asas kebebasan berkontrak tidak sesuai dengan harapannya, karena asas kebebasan berkontrak bertujuan memberikan keadilan.
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata juga terkandung adanya asas pacta sunt servanda, yang menyatakan Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang. Asas pacta sunt servanda dikuatkan dengan adanya kata sepakat. Bahwa adanya kesepakatan yang telah terjadi antara para pihak maka sudah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, tetapi apakah dengan adanya kata sepakat yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh oleh salah satu pihak menjadikan kesepakatan itu sebagai undang-undang bagi para pihak seperti yang dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Menurut penulis berlakunya kesepakatan sebagai undang-undang tidak hanya dalam hal mengikat keduabelah pihak saja tetapi juga harus bertujuan menciptakan keadilan. Dengan adaya kerugian salah satu pihak maka hal itu merupakan bukti adanya ketidakadilan sehingga kesepakatan yang terjadi tidak dapat dijadikan undang-undang bagi para pihak sesuai dengan asas pacta sunt servanda. Dalam perjanjian jual-beli sayur antara petani dengan tengkulak sayur terlihat bahwa sebenarnya kesepakatan tidak diinginkan oleh petani karena penawaran tengkulak tidak sesuai dengan keinginan petani tetapi karena adanya keadaan terpaksa dari pihak petani maka perjanjian tetap terjadi.
Demikian juga dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik”. Asas itikat baik merupakan asas bahwa para pihak dalam membuat perjanjian harus berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Keyakinan itu menunjukkan adanya kehendak yang diingingkan. Itikat baik sangat erat kaitannya dengan kepatutan atau keadilan, dan ukuran itikad baik harus ada pada para pihak. Dalam perjanjian jual-beli sayur tersebut, itikad baik sulit ditemukan hal itu dapat dilihat bahwa tengkulak sebagai pihak yang memiliki kekuatan ekonomi kuat hanya bertujuan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kepentingan petani untuk mendapatkan penawaran yang sesuai. Sedangkan petani yang dalam keadaan terpaksa hanya menerima penawaran yang ada dan menerima pembayaran. Tidak adanya kehendak yang bebas untuk melakukan penawaran yang dimiliki petani menandakan tidak adanya itikad baik dari tengkulak untuk mengadakan perjanjian.
Keseimbangan kedudukan dalam kekuatan tawar menawar harus menjadi perhatian dalam membuat perjanjian. Kelemahan-kelemahan pihak petani harus menjadi perhatian dalam membuat perjanjian. Tengkulak sayur yang memiliki bargaining position lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan petani sayur demi keuntungan dirinya sendiri. Penawaran harga yang rendah menandakan tidak diberikannya bagian sesuai haknya, tidak adanya kebebasan yang dimiliki petani, hak sebagai bagiannya dalam bentuk kebebasan tidak diberikan maka ketidakadilanlah yang terjadi.
Kebebasan yang diartikan sebebas-bebasnya akan mewujudkan ketidakadilan karena kebebasan yang ada selalu digunakan oleh pihak yang kuat untuk menekan pihak yang lemah, penekanan tersebut tidak lain untuk lebih banyak memberikan keuntungan bagi pihak yang kuat, sedangkan bagi pihak yang lemah keterpaksaan-keterpaksaan menjadi kerugian. Kerugian tersebutlah yang terjadi dalam perjanjian jual-beli sayur, dimana petani selalu memiliki keadaan terpaksa sehingga menciptakan posisi tawar lemah bagi petani sehingga tengkulak mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kondisi atau keadaan dimana bagian yang menjadi haknya tidak diberikannya karena adanya pembatasan terhadap kebebasan seseorang sehingga terjadi kesewenang-wenangan yang menciptakan tidak adanya persamaan sesama manusia merupakan bentuk adanya ketidakadilan.
Kerugian yang dialami petani sayur tersebut merupakan bukti tidak diberikannya bagian yang menjadi haknya. Hak tersebut seperti penawaran harga yang rendah yang merugikan petani jika dibandingkan dengan modal dan tenaga yang dikeluarkan oleh petani, sehingga ketidakadilan menjadi hasil dari tidak diberikannya bagian sesuai haknya masing-masing. Sehingga asas kebebasan berkontrak, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik dan keseimbangan hanya bisa mencapai tujuannya untuk mendapatkan keadilan bila para pihak memiliki bargaining position yang seimbang, keinginan yang baik dari para pihak sehingga ada persamaan dan diberikannya hak sesuai bagiannya masing-masing.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, dapat diketahui bahwa ketidakadilan yang terjadi pada perdagangan komoditas petanian. Kontrak yang mendasarkan pada ketidakseimbangan, menghasilkan kesepakatan semu dan kebebasan berkontrak yang semu. Namun demikin kontrak perdagangan yang demikian berlaku pada system perdagangan komoditas pertanian dan sering kali telah menjadi kebiasaan atau bahkan menjadi the living law yang diakui kebenarannya. Melihat kompleksitas permasalahan tersebut diharapkan penyelesaian terkait dengan ketidak adilan dalam perdagangan komoditas pertanian dapat dilakukan secara efektif, sehingga petani khususnya petani sayurpun dapat merasakan keadilan yang seharusnya didapat. Semoga.
Daftar Pustaka

L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983
W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum ( Hukum & masalah-masalah kontemporer), Raja Grafindo, Jakarta, 1994
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
Salim H. S, Hukum Kontrak .
Hennry Campble Black, Black’s Law Dictionary., Sixth West Publishing Co., St.Paul Minn, 1990.
O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta pusat, 1978, .









[1] R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, hal. 364.
[2] Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal. 113.
[3] Salim H. S, Hukum Kontrak. cit., hal. 38.
[4] O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta pusat, 1978, hal. 86.
[5] L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 23.
[6] O. Notohamidjojo, op. cit., hal. 89.
[7] Ibid, hal. 46.
[8] Hennry Campble Black, Black’s Law Dictionary, Six Ed.West Publishing Co., St.Paul Minn, 1990, hal. 536.
[9] W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum ( Hukum & masalah-masalah kontemporer), Raja Grafindo, Jakarta, 1994, hal. 64.

Kamis, 22 Mei 2008

KEGIATAN BISNIS NON GOVERNMENTAL ORGANISATION MENUJU KEMANDIRIAN LEMBAGA

Latar Belakang Masalah
Fenomena gerakan civil society yang berkembang dewasa ini dari beberapa pendapat selalu dikemukakan berbanding terbalik dengan kekuasaan negara. Bila negara sedemikian kuat pastilah penetrasi dilakukan sehingga civil society melemah. Sedangkan civil society akan tumbuh subur mana kala penetrasi negara melemah. Pada saat peranan negara melemah inilah maka peranan lebih besar diberikan kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan masyarakat sendiri. Lembaga nir laba dalam hal ini adalah lembaga yang bergerak di sektor nir laba, merupakan salah satu lembaga yang sangat penting untuk menjalankan peran masyarakat atau salah satu elemen dari civil society yang berkedudukan sebagai intermediary (penengah) antara masyarakat dan negara/ pemerintah. Nir laba berasal dari 2 kata yaitu nir-yang artinya tidak dan laba yang artinya mendapatkan laba[1] dengan demikian arti nirlaba adalah tidak mendapatkan laba. Lembaga nir laba dapat diberi pengertian sebagai suatu lembaga yang didalamnya terjadi berbagai aktivitas yang berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan yang berbeda ukurannya, yaitu bukan untuk memperoleh profit yang dibagikan untuk para anggota ataupun pengurus,bila dibandingkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga-lembaga yang bergerak untuk memperoleh profit[2]. Keuntungan yang diperoleh pada lembaga ini ditujukan bagi kepentingan beneficiary. Tantangan yang dihadapi oleh lembaga ini berkaitan dengan kedudukannya sebagai intermediary tersebut telah menjadi kajian banyak penulisan. Tantangan lain yang menarik untuk diungkap guna menopang kedudukan tersebut dan menjadi krusial dikarenakan lembaga ini berdasarkan sifat kegiatan yang dilakukannya merupakan lembaga nirlaba, yaitu berkaitan dengan penggalangan sumber daya yang dilakukan guna membiayai pengeluaran kegiatan yang dilakukan serta untuk sustainibility lembaga. Secara umum alasan yang mendasari dilakukanya penggalangan sumber daya oleh lembaga ini adalah sebagai berikut.[3]
1. Agar dapat bertahan hidup (pada masa dana luar negeri sudah semakin sedikit, terutama bagi organisasi-organisasi kecil);
2. Agar mendapat dana untuk perluasan dan pembangunan;
3. Agar tidak terlalu tergantung pada lembaga donor asing atau sumber dana lain;
4. Agar dapat membangun kelompok pendukung dalam masyarakat;
5. Agar dapat mewujudkan organisasi yang kokoh dan berumur panjang

Karakter nir laba yang demikian dapat ditemukan pada lembaga NGO. Setidaknya ada 5 karakteristik dasar NGO yang lazim ditemukan di banyak negara, yaitu:[4]
1. Lembaga non pemerintah yang membedakannya dari birokrasi dan institusi kenegaraan;
2. Dijalankan atas dasar kesukarelaan (voluntery);
3. Menjalankan kegiatan tidak dengan tujuan mencari dan membagikan keuntungan (nir laba);
4. Melayani masyarakat umum;
5. Tidak berorientasi pada kekuasaan politik secara langsung.
Berdasarkan peranannya maka dapat dipetakan beberapa pelaku yang berperan di dalam sektor Nir Laba, yaitu: Organisasi/ lembaga nir-laba, sebagai pelaku utama aktifitas disktor ini; Negara/lembaga Pemerintah, sebagai pelaku yang memilikin peran mengatur aktifitas-aktifitas kemasyarakatan; Masyarakat, sebagai pihak yang atas namanya, kepadanya dan oleh dirinya aktifitas nir-laba dirasakan manfaatnya[5] sebagai beneficiary.
Berdasarkan hasil penelitian tentang Problematika Hukum Di Sektor Nir Laba Menuju Good Corporate Governent yang dilakukan pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2004 dapat diperoleh based line data tentang karakteristik 9 (sembilan) NGO yang termasuk dalam kategori BIG NGO di Indonesia. Dari karakteristik lembaga yang diteliti dapat diketahui bahwa masing-masing lembaga walaupun berada pada sektor nir laba namun tetap melakukan penggalangan sumber daya guna membiayai kegiatan nir laba yang dilakukannya. Penggalangan sumber daya secara konsep meliputi :
Pertama, penggalangan dana atau fundraising yang berasal dari pihak lain di luar lembaga, baik pemerintah, korporasi ataupun pihak lain;
Kedua, pemupukan dana melalui produksi yaitu sumber daya yang diproduksi oleh lembaga baik sendiri maupun bekerjasama dengan lembaga lain[6] bahkan kegiatan bisnis yang nyata-nyata dilakukan oleh lembaga dengan membentuk entitas bisnis tertentu.
Ketiga, penggalangan sumber daya dari pinjaman pihak lain walaupun langkah ini tidak populer untuk dilakukan.
Upaya penggalangan sumber dana sedemikian rupa, memenuhi 2 konsep penggalangan sumber daya, yaitu: Fundraising dan penggalangan dana yang dilakukan sendiri atau bekerjasama dengan lembaga lain.
Penggalangan sumber daya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga di sektor nir laba tersebut dalam faktanya banyak memunculkan masalah-masalah hukum didalamnya baik yang berkaitan dengan sengketa hukum yang muncul ataupun tidak terkait dengan sengketa namun dapat diprediksi memungkinkan munculnya sengketa hukum dikemudian hari. Dan permasalahan ini menjadi salah satu isu yang menarik untuk dicermati dalam memahami lembaga disektor nir laba secara menyeluruh. Karena penggalangan sumber daya sangat penting dilakukan NGO, walaupun NGO secara karakteristik adalah nir laba. Hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan berkaitan dengan penggalangan sumber daya tersebut adalah tetap mengedepankan prinsip responsibility, accountability, fairness dan transparency, yang secara singkat dijelaskan sebagai berikut:[7]
Responsibility. Berkaitan dengan tanggungjawab untuk mengejar keuntungan bagi perusahaan seiring dengan tanggungjawab sosial kepada masyarakat. Dalam kaitan dengan organisasi nir-laba dapat ditafsirkan sebagai tanggungjawab untuk mengejar pencapaian tujuan organisasi atau kepentingan anggota seiring dengan tanggungjawab sosial kepada masyarakat;
Accountability. Dalam konteks perusahaan, yang dimaksud adalah membangun pertanggungjawaban kepada pemegang saham. Dalam konteks organisasi nir laba adalah pertanggungjawaban kepada pendiri atau badan hukum.
Fairness. Dalam konteks perusahaan, merupakan jaminan bahwa semua pemegang saham diperlakukan secara setara tanpa membedakan signifikasi dalam pemilikan. Pengurus harus memperlakukan secara setara dan harus menjamin hak-hak para investor, termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing. Kesetaraan semacam ini juga, dalam konteks organisasi nir laba, perlu dijamin untuk perlakuan terhadap para pendiri atau anggota organisasi, maupun penerimaan manfaat.
Transparency. Mengenai disclosure dari setiap informasi yang menyangku kepentingan umum atau kepentingan pemegang saham. Organisasi harus mengungkapkan informasi secara akurat, cukup dan tepat waktu.

Dalam upaya penggalangan dana tersebut, tidak tertutup kemungkinan NGO tersebut menghadapi sengketa-sengketa yang terjadi, dimana dalam menghadapi sengketa tersebut telah dilakukan upaya penyelesaian baik dengan melalui litigasi maupun non litigasi.
Berdasarkan paparan di atas maka menarik untuk diteliti masalah-masalah hukum dalam penggalangan sumber daya pada lembaga nir laba dengan tetap mengacu pada Good Corporate Governance dan peraturan perundangan serta konstitusi lembaga.

KERANGKA TEORI
Berdasarkan orientasi dari masing-masing lembaga Nir laba yang penulis ambilkan dari pendapat Philip Eldridge tentang NGO Model,[8] maka dapat dijelaskan dalam kaitannya tulisan ini bahwa model tersebut relevan dengan upaya penggalangan sumber daya yang dilakukan oleh lembaga. Secara konsep penggalangan sumber daya pada lembaga Nir Laba meliputi :
Pertama, penggalangan dana atau fundraising yang berasal dari pihak lain di luar lembaga, baik pemerintah, korporasi ataupun pihak lain;
Kedua, sumber daya yang diproduksi oleh lembaga baik sendiri maupun bekerjasama dengan lembaga lain[9].
Bila NGO mengacu pada mode 1 (pertama) pada NGO mode tersebut, dimana berorientasi pada pengembangan masyarakat, akomodatif, serta hubungannya dengan NGO sponsor adalah semi-dependent maka sangat dimungkinkan 2 konsep penggalangan sumber daya di atas diterapkan pada lembaga tersebut. Sedangkan pada NGO Model yang ketiga dengan karakteristik sedemikian di atas, dapat disimpulkan sementara bahwa pada NGO yang demikian penggalangan sumber daya dilakukan secara mandiri, karena pada dasarnya funding dalam memberikan pendanaan selalu diikuti dengan persyaratan-persyaratan tertentu, sehingga lembaga tidak dapat secara mutlak independen dari kepentingan funding.
Bukan sekedar pilihan konsep penggalangan sumber daya tersebut yang menarik untuk dikaji namun juga dalam hal produksi barang dan atau jasa yang dipilih sebagai upaya penggalangan sumber daya, maka pilihan produksi yang dilakukan lembaga seharusnya relevan dengan orientasi lembaga tersebut. Orientasi lembaga tersebut tertuang secara tegas dalam konstitusi lembaga.
Kedudukan konstitusi bagi lembaga dapat dijelaskan dengan mendasarkan pendapat dari K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions yang menjelaskan tentang kedudukan konstitusi dimana menurut penulis dapat digunakan sebagai dasar berpijak untuk kedudukan konstitusi lembaga bagi lembaga nirlaba. Dijelaskan bahwa kedudukan konstitusi dalam suatu negara bisa dipandang dari dua aspek, yaitu aspek hukum dan aspek moral. Konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derajat tertinggi (supremasi). Sehingga punya daya ikat bukan hanya bagi rakyat/ warga negara tetapi juga mengikat bagi para penguasa (dalam konteks penulisan ini adalah pengurus) dan badan pembuat konstitusi (penulis; pendiri) itu sendiri. Konstitusi dilihat dari aspek moral landasan fundamental maka konstitusi berada di bawahnya sehingga tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral[10]. Bertolak dari pendapat di atas maka segala kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dalam menjalankan aktivitas khususnya penggalangan sumber daya haruslah tunduk pada konstitusi lembaga sebagai supreme law.
Dengan demikian di kalangan NGO, LSM maupun LPSM dipisahkan secara tegas dengan bentuk-bentuk lembaga yang lain. Dalam hal ini berarti bahwa menurut kalangan NGO yang nota bene lembaga nir laba dipahami bahwa regulasi yang berlaku pada lembaga ini tidak dapat dipersamakan dengan lembaga yang lain tersebut. Sehingga ada pemisahan yang sangat jelas antara satu sisi lembaga yang berorientasi ekonomi dan sosial-ekonomi dengan lembaga sosial politik (LSM/LPSM). Sedangkan di dalam lembaga sosial-pilitik itu sendiri, LSM dan LPSM dibedakan dengan Yayasan dan Parpol maupun Ornop.
Pemisahan yang hampir sama penulis lihat dari beberapa pendapat ahli hukum bisnis yang mengeluarkan yayasan (salah satu bentuk hukum yang dapat digunakan oleh lembaga nir laba) dari pembahasan hukum bisnis. Menurut penulis, pemisahan yang strict demikian tidaklah tepat, hal ini dilihat secara faktual bahwa hampir semua lembaga melakukan kegiatan bisnis (prinsip-prisnsip bisnis diterapkan disini tidak berbeda dengan lembaga bisnis yang lain) yang keuntungan dari kegiatan bisnis tersebut tidak untuk kepentingan pengurus ataupun karyawan semata tapi diharapkan lebih bagi kepentingan beneficiary. Dengan demikian Yayasan yang demikian menurut pendapat penulis adalah pelaku usaha dengan karakteristik yang melekat pada dirinya haruslah diperhatikan.
Dengan demikian hukum yang seperti apa seharusnya diterapkan pada lembaga ini haruslah merujuk pada karakter yang dimilikinya tersebut . Hukum yang mendasarkan pada paradigma moral[12] yang berupa seperangkat nilai yang bersifat egalitarian, demokratis, pluralistis dan profesional untuk membangun masyarakat madani (civil society) perlu diterapkan dalam pengaturan lembaga ini. Hal ini sangat sesuai dengan pandangan Utilitarianisme yang meletakkan kemanfaatan (kebahagiaan) sebagai tujuan utama hukum. Dimana kemanfaatan hukum ada pada tujuan untuk memberikan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut (the greatest happiness for the greatest number of people).[13]. Namun demikian types of utilitarianism juga dimungkin negative utilitarianism[14] yang dalam konteks ini kemanfaatan ataupun kebahagiaan tidak ditujukan kepada banyak orang dalam hal ini bagi beneficiary/ stakeholders namun kemanfaatan atau keuntungan ini dibagikan kepada shareholders. Lebih lanjut, Satjipto menegaskan bahwa tidak ada tatanan sosial, termasuk didalamnya hukum yang tidak bertolak dari kearifan pandangan tentang manusia dan masyarakat.[15] Dengan demikian hukum yang dibuat oleh penguasa haruslah mendasarkan pada kearifan pandangan tentang manusia dan masyarakat.
Dalam konsep lembaga nir laba, manusia dan tepatnya masyarakatlah yang berkedudukan sebagai beneficiary, merupakan penikmat akhir dari kegiatan lembaga. Parameter yang dapat dikembangkan disini adalah siapa penikmat akhir dari kemanfaatan penggalangan sumber daya yang seharusnya berorientasi pada kepentingan beneficiary, dan/ atau prosentase laba yang signifikan diperuntukkan bagi kepentingan beneficiary dengan mengacu pada ketentuan yang ada serta konstitusi lembaga.
Dengan demikian hukum yang dikembangkan dalam sektor ini adalah hukum yang mendasarkan pada kemanfaatan dengan bertujuan bagi kebahagiaan dan kepentingan masyarakat (orang banyak).

Masalah Hukum Kegiatan Bisnis dalam Penggalian Sumber Daya pada Sektor Nir Laba
Dari beberapa pendapat dapat diketahui bahwa lembaga yang bergerak di sektor nir laba atau lebih dikenal dengan NGO memiliki karakteristik tertentu yang membedakan lembaga ini dengan lembaga lainnya. Disamping itu, terkhusus bagi lembaga yang masuk dalam kategori NGO Besar atau disebut BIG NGO memiliki karakteristik internal yang banyak dinilai kontradiksi dengan idiologi yang diperjuangkan, yaitu[16] :
lemah dalam leader turnover
lemah dalam check and balance system
lemah dalam transference
lemah keterikatan dengan basis rakyat
commercial business attitude
tambahan income dengan mekanisme profit making capitalism corporation
Karakteristik ke 5 dan 6 di atas menguatkan bahwa kegiatan NGO yang nota bene adalah berada pada sektor nir laba tidak bisa lepas dari kegiatan bisnis. Bahkan sering kali kegiatan bisnis ini menjadi kegiatan utama dari dari lembaga karena tanpa kegiatan ini maka lembaga tidak dapat menjalankan programnya. Pada beberapa sisi kegiatan bisnis yang menjadi kegiatan utama ini menggeser dan kontradiktif dengan ideologi yang diperjuangkan lembaga.
Salah satu BIG NGO yang berkedudukan di Jakarta misalnya memiliki lebih dari 10 perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT) yang bergerak dalam bisnis keuangan, penerbitan dan sebagainya.

Daftar Pustaka

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
[2] Theofransus Litaay, Dyah Hapsari Prananingrum, Umbu Rauta, Problematika Hukum Dalam Pengelolaan Sektor Nir Laba Menuju Good Corporate Governance, FH-UKSW, Salatiga,2004.
[3] Michael Norton, Menggalang Dana, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002, Hal.210

[5] Paper KHN: Problematika Hukum sektor nirlaba Menuju Good Corporate Governance oleh Theofransus Litaay, Dyah Hapsari P, Umbu Rauta, Salatiga,2004, hal. 1.
[5] Wawan Fahrudin, Akuntabilitas dan Transparansi LSM dalam Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Demokrasi di Indonesia, CIVIC Vol.1.No.2 Agustus 2003, Jakarta, hal. 38.
[6] Ri chad Hill, Menuju Kemandirian Keuangan, Yayasan Obor, Jakarta, 2001, iiv.
[7] Ibid.
[8] Philip Eldridge dalam Arif Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia No. 22 tahun 1990, hal. 512.
[9] Ri chad Hill, Menuju Kemandirian Keuangan, Yayasan Obor, Jakarta, 2001, hal iiv.
[10] Dahlan Thalib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta ,2004 , Hal. 63.
[11] Zaim Said, Makalah: Lima tantangan Mendasar LSM , disampaikan dalam pertemuan antar NGO di Jakarta:, PIRAC, 2004, hal.5.
[12] Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebagai Telaah Sosiologi”, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hal. 71.
[13] Darji Darmodiharjo dan Sidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004, hal. 117.
[14] ........hal.1
[15] Esmi Warassih, Opcit, hal. 71.
[16] Sigit W, Makalah Kemandirian Organisasi dan Program NGO, YIS – Surakarta, 2003, hal 4.

Who am I?

Who am I ?Nama lengkap Dyah Hapsari Prananingrum dan biasa dipanggil dengan Dyah adalah seorang yang aktif dalam penelitian, konsultan hukum dan pengajaran. Sebagai seorang peneliti lebih banyak mengkaji tentang NGO, aktivitas bisnis dan gender. Aktif dalam pemberian konsultasi hukum khususnya hukum perdata dan banyak menangan perkara KDRT dan perlindungan anak. Dyah mengawali karir kerjanya sebagai dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga pada tahun 1996 dan saat ini menjabat sebagai kepala pusat penelitian Fakultas Hukum dan sekaligus staff Unit Bantuan Hukum FH UKSW. Melalui lembaga inilah aktivitas penelitian, pengajaran dan konsultan hukum menjadi kegiatan sehari-hari bagi Dyah. Mulai dari merancang penelitian, menjalankan dan mengembangkan penelitian dan membantu masyarakat yang membutuhkan konsultasi hukum.