Kamis, 29 Mei 2008

ASPEK HUKUM PENGGALANGAN SUMBER DAYA OLEH LEMBAGA NIRLABA

Abstract
Non profit sector is an environment where some activities take place not for pursuing o getting any profit. One of the doers of this sector is non profit organization. It is the main doer besides country and society. Problem arise from this sector are the sustainability of the organizations/institution and the business activity in terms of regulation. Therefore, it arise the awareness of law that can accommodate the various need of the society. In relation to this, the government has not been able to give the needed services to the society in all sectors then it is very important to have law protection and also a clear law solution for the non profit sector.
Pendahuluan
Lembaga nirlaba di dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai lembaga yang bergerak di sektor nir laba yang merupakan salah satu lembaga penting untuk menjalankan peran masyarakat atau salah satu elemen dari civil society yang berkedudukan sebagai intermediary (penengah) antara masyarakat dan negara/ pemerintah.
Berdasarkan peranannya maka dapat dipetakan beberapa pelaku yang berperan di dalam sektor nirlaba, yaitu: Organisasi/ lembaga nir-laba, sebagai pelaku utama aktifitas disktor ini; Negara/lembaga Pemerintah, sebagai pelaku yang memilikin peran mengatur aktifitas-aktifitas kemasyarakatan; Masyarakat, sebagai pihak yang atas namanya, kepadanya dan oleh dirinya aktifitas nir-laba dirasakan manfaatnya[1] sebagai beneficiary.
Nir laba itu sendiri berasal dari 2 kata yaitu nir-yang artinya tidak dan laba yang artinya mendapatkan laba[2] dengan demikian arti nirlaba adalah tidak mendapatkan laba. Dengan demikian lembaga nir laba dapat diberi pengertian sebagai suatu lembaga yang didalamnya terjadi berbagai aktivitas yang berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan yang berbeda ukurannya, yaitu bukan untuk memperoleh profit yang dibagikan untuk para anggota ataupun pengurus, bila dibandingkan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga-lembaga yang bergerak untuk memperoleh profit[3]. Keuntungan yang diperoleh pada lembaga ini ditujukan bagi kepentingan beneficiary. Adapun lembaga yang memenuhi kriteria sebagai nir laba serta berkedudukan sebagai intermediary antara pemerintah dan masyarakat adalah NGO (non goverment organization).
Namun demikian pemahaman NGO yang merupakan lembaga di luar pemerintahan yang memiliki karakteristik utama tidak mengutamakan pencarian keuntungan , menurut penulis masih sangat luas. Dengan demikian lembaga dalam penulisan ini lebih spesifik pada adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Tantangan yang dihadapi oleh lembaga ini berkaitan dengan kedudukannya sebagai intermediary tersebut telah menjadi kajian banyak penulisan. Tantangan lain yang menarik untuk diungkap guna menopang kedudukan tersebut dan menjadi krusial dikarenakan lembaga ini berdasarkan sifat kegiatan yang dilakukannya merupakan lembaga nir laba, yaitu berkaitan dengan penggalangan sumber daya yang dilakukan guna membiayai pengeluaran kegiatan yang dilakukan serta untuk sustainibility lembaga. Secara umum alasan yang mendasari dilakukanya penggalangan sumber daya oleh lembaga ini adalah sebagai berikut.[4]
1. Agar dapat bertahan hidup (pada masa dana luar negeri sudah semakin sedikit, terutama bagi organisasi-organisasi kecil);
2. Agar mendapat dana untuk perluasan dan pembangunan;
3. Agar tidak terlalu tergantung pada lembaga donor asing atau sumber dana lain;
4. Agar dapat membangun kelompok pendukung dalam masyarakat;
5. Agar dapat mewujudkan organisasi yang kokoh dan berumur panjang

Karakter nir laba yang demikian dapat ditemukan pada lembaga swadaya masyarakat. Setidaknya ada 5 karakteristik dasar lembaga swadaya masyarakat yang lazim ditemukan di banyak negara, yaitu:[5]
1. Lembaga non pemerintah yang membedakannya dari birokrasi dan institusi kenegaraan;
2. Dijalankan atas dasar kesukarelaan (voluntery);
3. Menjalankan kegiatan tidak dengan tujuan mencari dan membagikan keuntungan (nir laba);
4. Melayani masyarakat umum;
5. Tidak berorientasi pada kekuasaan politik secara langsung.

Berdasarkan hasil penelitian tentang Problematika Hukum Di Sektor Nir Laba Menuju Good Corporate Governent yang dilakukan pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2004 dapat diperoleh based line data tentang karakteristik 9 (sembilan) NGO yang termasuk dalam kategori BIG NGO di Indonesia. [6] Dari karakteristik lembaga yang diteliti dapat diketahui bahwa masing-masing lembaga walaupun berada pada sektor nir laba namun tetap melakukan penggalangan sumber daya guna membiayai kegiatan nir laba yang dilakukannya. Adapun upaya penggalangan sumber dana tersebut, meliputi 2 konsep penggalangan sumber daya yang dikenal yaitu Fundraising dan penggalangan dana yang dilakukan sendiri atau bekerjasama dengan lembaga lain.
Penggalangan sumber daya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga di sektor nir laba tersebut dalam faktanya banyak memunculkan masalah-masalah hukum didalamnya. Dan permasalahan ini menjadi salah satu isu yang menarik untuk dicermati dalam memahami lembaga disektor nir laba secara menyeluruh. Karena penggalangan sumber daya sangat penting dilakukan LSM, walaupun LSM secara karakteristik adalah nir laba. Hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan berkaitan dengan penggalangan sumber daya tersebut adalah tetap mengedepankan prinsip responsibility, accountability, fairness dan transparency, yang secara singkat dijelaskan sebagai berikut:[7]
Responsibility. Dalam kaitan dengan organisasi nir-laba dapat ditafsirkan sebagai tanggungjawab untuk mengejar pencapaian tujuan organisasi atau kepentingan anggota seiring dengan tanggungjawab sosial kepada masyarakat;
Accountability. Dalam konteks organisasi nir laba adalah pertanggungjawaban kepada pendiri atau badan hukum terhadap pengelolaan lembaga.
Fairness. Dalam konteks konteks organisasi nir laba, maka perlu adanya jaminan perlakuan yang sama terhadap para pendiri atau anggota organisasi, maupun penerimaan manfaat.
Transparency. Mengenai disclosure dari setiap informasi yang menyangku kepentingan umum atau kepentingan pendiri dan pemegang kepentingan terhadap lembaga. Organisasi harus mengungkapkan informasi secara akurat, cukup dan tepat waktu.

Berdasarkan paparan di atas maka menarik untuk dikaji lebih mendalam mengenai permasalahan tentang bagai bentuk-bentuk penggalangan sumber daya fundraising dan/ atau produksi oleh LSM beserta alasan dipilihnya penggalian sumber daya tersebut ?


KERANGKA TEORI
Berdasarkan orientasi dari masing-masing lembaga Nir laba yang penulis ambilkan dari pendapat Philip Eldridge[8] tentang NGO Model sangat relevan dengan upaya penggalangan sumber daya yang dilakukan oleh setiap lembaga Nirlaba tersebut. Secara konsep penggalangan sumber daya pada lembaga Nirlaba meliputi :
Pertama, penggalangan dana atau fundraising yang berasal dari pihak lain di luar lembaga, baik pemerintah, korporasi ataupun pihak lain;
Kedua, sumber daya yang diproduksi oleh lembaga baik sendiri maupun bekerjasama dengan lembaga lain[9].
Bila NGO mengacu pada mode 1 (pertama) pada NGO mode tersebut, dimana berorientasi pada pengembangan masyarakat, akomodatif, serta hubungannya dengan NGO sponsor adalah semi-dependent maka sangat dimungkinkan 2 konsep penggalangan sumber daya di atas diterapkan pada lembaga tersebut. Sedangkan pada NGO Model yang ketiga dengan karakteristik sedemikian di atas, dapat disimpulkan sementara bahwa pada NGO yang demikian penggalangan sumber daya dilakukan secara mandiri, karena pada dasarnya funding dalam memberikan pendanaan selalu diikuti dengan persyaratan-persyaratan tertentu, sehingga lembaga tidak dapat secara mutlak independen dari kepentingan funding.
Bukan sekedar pilihan konsep penggalangan sumber daya tersebut yang menarik untuk dikaji namun juga dalam hal produksi barang dan atau jasa yang dipilih sebagai upaya penggalangan sumber daya, maka pilihan produksi yang dilakukan lembaga seharusnya relevan dengan orientasi lembaga tersebut. Orientasi lembaga tersebut tertuang secara tegas dalam konstitusi lembaga.
Kedudukan konstitusi bagi lembaga dapat dijelaskan dengan mendasarkan pendapat dari K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitutions yang menjelaskan tentang kedudukan konstitusi dimana menurut penulis dapat digunakan sebagai dasar berpijak untuk kedudukan konstitusi lembaga bagi lembaga nirlaba. Dijelaskan bahwa kedudukan konstitusi dalam suatu negara bisa dipandang dari dua aspek demikian pula konstitusi pada lembaga nirlaba, yaitu aspek hukum dan aspek moral. Konstitusi dilihat dari aspek hukum mempunyai derajat tertinggi (supremasi). Sehingga punya daya ikat bagi organ dalam lembaga, pengurus, pekerja lembaga maupun pendiri sebagai badan pembuat konstitusi itu sendiri. Konstitusi dilihat dari aspek moral landasan fundamental maka konstitusi berada di bawahnya sehingga tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai universal dari etika moral[10]. Bertolak dari pendapat di atas maka segala kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dalam menjalankan aktivitas khususnya penggalangan sumber daya haruslah tunduk pada konstitusi lembaga sebagai supreme law.
Perlu dicermati bahwa dikalangan NGO dikenal adanya pembagian lembaga yang berdasarkan pada visi, misi, tujuan dan badan hukum lembaga yang semua tertuang dalam konstitusi lembaga[11], maka pemisahan yang strict tersebut menurut penulis tidaklah tepat, hal ini dilihat secara faktual bahwa hampir semua lembaga melakukan kegiatan bisnis (prinsip-prisnsip bisnis diterapkan disini tidak berbeda dengan lembaga bisnis yang lain) yang keuntungan dari kegiatan bisnis tersebut tidak untuk kepentingan pengurus ataupun karyawan semata tapi diharapkan lebih bagi kepentingan beneficiary. Dengan demikian lembaga yang demikian menurut pendapat penulis adalah pelaku usaha dengan karakteristik yang melekat pada dirinya haruslah diperhatikan.
Dalam konsep lembaga nir laba, manusia dan tepatnya masyarakatlah yang berkedudukan sebagai beneficiary, merupakan penikmat akhir dari kegiatan lembaga. Parameter yang dapat dikembangkan disini adalah siapa penikmat akhir dari kemanfaatan penggalangan sumber daya yang seharusnya berorientasi pada kepentingan beneficiary, dan/ atau prosentase laba yang signifikan diperuntukkan bagi kepentingan beneficiary dengan mengacu pada ketentuan yang ada serta konstitusi lembaga.
Dari beberapa pendapat dapat diketahui bahwa lembaga yang bergerak di sektor nir laba khususnya LSM memiliki karakteristik tertentu yang membedakan lembaga ini dengan lembaga lainnya. Dan perlu lebih dicermati bahwa lembaga yang masuk dalam kategori LSM Besar memiliki karakteristik internal yang banyak dinilai kontradiksi dengan idiologi yang diperjuangkan, yaitu[12] :
lemah dalam leader turnover
lemah dalam check and balance system
lemah dalam transference
lemah keterikatan dengan basis rakyat
commercial business attitude
tambahan income dengan mekanisme profit making capitalism corporation
Karakteristik ke 5 dan 6 di atas menguatkan bahwa kegiatan LSM yang nota bene adalah berada pada sektor nir laba tidak bisa lepas dari kegiatan bisnis. Bahkan sering kali kegiatan bisnis ini menjadi kegiatan utama dari dari lembaga karena tanpa kegiatan ini maka lembaga tidak dapat menjalankan programnya. Pada beberapa sisi kegiatan bisnis yang menjadi kegiatan utama ini menggeser dan kontradiktif dengan ideologi yang diperjuangkan lembaga.
Salah satu LSM Besar yang berkedudukan di Jakarta misalnya memiliki lebih dari 10 perusahaan berbentuk perseroan terbatas (PT) yang bergerak dalam bisnis keuangan, penerbitan dan sebagainya.

Analisis
Meskipun semua LSM menyandang label “Nir-laba”, namun hampir semuanya melakukan atau bahkan memiliki unit usaha (entitas bisnis). Namun yang membedakan dari entitas bisnis lainnya maka unit usaha itu dilakukan bukan untuk mengejar keuntungan semata tetapi untuk membantu menopang aktifitas pokok dari lembaga tersebut. Kegiatan bisnis yang dilakukan mereka ada yang berkaitan ataupun menopang secara langsung kegiatan Nir-labanya, namun adapula yang tidak terkait sama sekali.
Berkaitan dengan bentuk hukum badan usaha yang dipilih dalam melakukan kegiatan komersial ini bisa berbentuk satu badan hukum tertentu yaitu Perseroan Terbatas (PT), maupun dalam bentuk perusahaan yang tidak berbadan hukum. Lembaga yang bergerak di bidang kesehatan, dalam melakukan kegiatan komersial, dijalankan bersama-sama dalam kegiatan Nir-labanya (tanpa membentuk satu badan usaha terpisah). Disamping membentuk beberapa badan usaha mandiri sering kali LSM melakukan kegiatan bersifat komersial berbarengan dengan kegiatan Nir-laba yang dilakukannya, sebagai contoh; jasa konsultasi yang diberikan oleh lembaga bisa bersifat Nir-laba, namun dapat pula dikomersilkan, ataupun kegiatan pelatihan, penelitian dan sebagainya. Dari lembaga Nir-laba yang menyelenggarakan kegiatan komersial dengan cara membentuk PT dapat dicermati bahwa hanya sebagian kecil sahamnya yang dimiliki oleh pihak lain. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pemegang saham yang lain hanya sekedar untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengharuskan sebuah PT memiliki minimal dua (2) pemegang saham. Dengan kondisi pemegang saham seperti itu, maka yang diharapkan oleh lembaga Nir-laba ialah keuntungan PT dapat diterima oleh lembaga Nir-laba untuk kepentingan lembaga tanpa adanya pembagian keuntungan dengan pihak lain di luar lembaga yang bersangkutan. Praktek yang demikian sebenarnya merupakan suatu upaya menyiasati persyaratan yang ditentukan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Konsekwensi dari praktek yang demikian menyebabkan PT sebagai satu badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban hukum yang mandiri yang terpisah dari pemiliknya tidak terwujud.
Beberapa NGO memilih bentuk hukum lembaganya koperasi yang menurut penulis pilihan bentuk hukum ini menjadi tidak tepat. Karena secara esensial tujuan dari dua lembaga ini adalah berbeda walaupun secara factual pada beberapa LSM, koperasi dipilih sebagai bentuk hokum yang mewadahi kegiatan bisnisnya. Pada koperasi tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kepentingan anggota. Adapun anggota tidak dikenal dalam LSM, karena kegiatan LSM lebih dilakukan guna kepentingan beneficiary. Dari sisi pendanaan, pada koperasi dana atau lebih dikenal sebagai modal diperoleh dari anggota, penyertaan pihak lain ataupun pinjaman. Adapun pada LSM, dana dapat diperoleh dari kegiatan fundraising ataupun dari kegiatan pencarian dana oleh lembaga. Dari dua ciri tersebut maka antara LSM dan koperasi memiliki perbedaan yang mendasar. Namun demikian berdasarkan pada data lapangan, dapat dianalisis bahwa pada lembaga ini, koperasi merupakan bentuk hukum dari kegiatan penggalangan sumber daya yang dilakukan adapun bentuk hukum lembaganya adalah prserikatan perdata.
Permasalahan mendasar lainnya yang perlu diperhatikan dalam penggalangan sumber daya oleh LSM adalah dari bisnis yang dilakukan lembaga tersebut adalah perlunya ciri khas tertentu yang bisa membedakannya dengan kegiatan bisnis yang dilakukan oleh lembaga bisnis lain yang murni bermotif Laba. Untuk itu dapat dilihat dari besarnya kegiatan bisnis yang dilakukan jika dibandingkan dengan kegiatan utama lembaga Nir-laba dan tujuan dari diselenggarakannya kegiatan bisnis tersebut. Seberapa besar kegiatan bisnis dilakukan dapat dibandingkan dengan kegiatan utama dari lembaga tersebut, apakah lebih menekankan kegiatan bisnisnyakah atau kegiatan Nir-labanya? Terlebih banyak kegiatan bisnis yang dilakukan oleh lembaga-lembaga ini yang tidak berhubungan dengan kegiatan lembaga, maka implikasi yang muncul adanya kecenderungan kuat bagi bisnis itu sendiri untuk melemahkan kekuatan kerja utama lembaga Nir-laba. Sehingga menurut hemat penulis perlu adanya tuntutan yang lebih tinggi bagi akuntabilitas lembaga-lembaga tersebut dalam kaitannya dengan kegiatan komersial yang dilakukan .
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa pada beberapa sisi kegiatan bisnis yang menjadi kegiatan utama lembaga, menggeser dan kontradiktif dengan ideologi yang diperjuangkan lembaga. Berdasarkan kondisi di atas maka diperlukan satu batasan agar kegiatan bisnis NGO tetap pada koridor yang seharusnya. Adapun pada peraturan perundangan terkhusus dengan merujuk pada UU Yayasan No. 16 Tahun 2001 jo UU No. 28 tahun 2004 maka tidak ditemukan pengaturan secara pasti mengenai kegiatan bisnis apa yang boleh dilakukan oleh yayasan. Walaupun haruslah dipahami bahwa bentuk hukum dari LSM bisa dalam bentuk yayasan maupun perserikatan perdata. Namun sebagian besar LSM di Indonesia mengambil bentuk hukum yayasan dan hanya sebagian kecil dari lembaga tersebut yang mengambil bentuk hukum lainnya. Khususnya dalam ketentuan tentang Yayasan, diatur bahwa Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha (pasal 3:1). Namun demikian yang perlu diperhatikan bahwa dalam hal Yayasan melakukan kegiatan bisnis guna penggalangan dana bagi lembaga maka perlu diperhatikan pengaturan dalam UU Yayasan sebagai bentuk pelaksanaan prinsip responsibility, sebagai berikut.
1. Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan. (pasal 7:1)
2. Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan. (pasal 7:2)
3. Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2). (pasal 7:3)
Kegiatan yang di larang dilakukan dalam pengelolaan Yayasan adalah sebagai berikut :
Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas
Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan.
Anggota Pembina, Pergurus, dan Pengawas yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas baik pada badan usaha yang didirikan oleh yayasan ataupun pada badan usaha dimana yayasan melakukan penyertaan
Terhadap pelanggaran dari pengaturan yang termuat dalam UU yayasan maka dimungkinkan adanya Pemeriksaan Yayasan. Pemeriksaan terhadap Yayasan dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permohonan tertulis pihak ketiga yang berkepentingan disertai alasan, atau berdasarkan penetapan Pengadilan atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum untuk mendapatkan data atau keterangan. Pemeriksaan dapat dilakukan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ Yayasan :
Melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar;
Lalai dalam melaksanakan tugasnya;
Melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan atau pihak ketiga; atau
Melakukan perbuatan yang merugikan negara.
Dengan demikian Anggaran Dasar (AD) lembaga sebagai konstitusi lembaga tetaplah menjadi pedoman kegiatan lembaga termasuk penggalian sumber daya lembaga. Karena AD sebagai konstitusi lembaga bila dilihat dari aspek hukum mempunyai derajat tertinggi (supremasi), sehingga punya daya ikat bukan hanya bagi pelaksana lembaga tetapi juga mengikat bagi para pengurus, pengawas dan pembina. Bertolak dari pendapat di atas maka segala kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dalam menjalankan aktivitas bisnis guna penggalangan sumber daya bagi lembaga haruslah tunduk pada Peraturan perundangan dan Anggaran Dasar sebagai konstitusi lembaga sebagai supreme law.
Adapun pilihan penggalangan sumber daya oleh lembaga lebih didasarkan atas beberapa alasan dasar, yaitu:
1. Berdasarkan ideologi, pemikiran ini dapat ditemukan salah satu contohnya adalah lembaga USC Satunama yang mendasarkan pada demokrasi. Konsekwensi dari pemikiran inilah maka pada lembaga ini tidak akan pernah membuat unit bisnis yang terpisah, sehingga diharapkan kegiatan penggalian dana yang dilakukan tidak bertentangan dengan idiologi yang diambil. Walaupun lembaga ini memiliki perseroan terbatas (PT) yang bergerak dibidang penyiaran radio, namun pembentukan PT ini dilakukan berdasarkan regulasi yang ada bahwa penyelenggara penyiaran radio hanya dapat dilakukan dalam 3 bentuk yaitu radio komunitas, radio swasta dan PT. Dengan demikian pilihan yang dapat diambil untuk bentuk hukumnya adalah PT. Namun demikian pendirian radio ini tidak dilakukan guna pemupukan keuntungan karena dalam pelaksanaannya radio ini tidak memperdengarkan pengiklanan yang bersifat komersial.
2. Berdasarkan pada isu dengan dasar / latar belakang :
a. alasan praktis untuk mendapatkan dana dalam rangka keberlanjutan
b. adanya pergeseran visi misi karena saat ini NGO tidak lagi murni filantrophy namun ada aktifitas yang for profit.
c. NGO saat ini sudah menyerupai Company salah satunya munculnya tanggung jawab hukum terdapat karyawan yang bekerja padanya
Sebagai salah satu contoh adalah NGO, yang pada awalnya merupakan yang mendasarkan pada kegiatan philantropis untuk membantu mayarakat. Kemudian berlanjut menjadi rumah sakit. Berdasarkan kebutuhan isu ( “trens”) terjadilah pergeseran visi misi dengan munculnya bencana alam dan sebagainya maka dibentuklah Unit yang bergerak dibidang tersebut.
Ataupun NGO yang pada awalnya merupakan LSM yang bervisi pada kesejateraan anak dan kesehatan, kemudian berubah visi dan misinya menjadi Koperasi yang bergerak pada micro finance karena pergeseran isu yang terjadi saat ini. Dan di sisi yang lain NGO sering kali berubah menjadi satu company yang sangat besar dengan jumlah karyawan ribuan sehingga melahirkan tanggung jawab hukum yang mendasarkan pada hukum ketenagakerjaan.
Dari pilihan penggalangan sumber daya yang dilakukan akan menimbulkan implikasi terhadap lembaga. Berdasarkan hal tersebut di atas, implikasi dari pilihan upaya pengalangan sumber daya pada hubungan hukum yang terjadi antara lembaga dengan masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut. Masyarakat yang pada awalnya berkedudukan sebagai beneficiary (penerima masyarakat) khususnya pada lembaga yang penggalangan dananya mendasarkan pada isu, menjadikan masyarakat sebagai nasabah yang mendasarkan pada hubungan perdata (perbankan) yang mendasarkan pada kontrak perdata. Kondisi ini berimplikasi pada sanksi yang dimunculkan bukan lagi pada sosial namun sanksi hukum, hubungan yang terjalin adalah hubungan hukum yang sarat dengan aturan-aturan positif yang mengikat kedua belah pihak. Pada lembaga yang bergerak pada kegiatan kesehatan kondisi yang sama terjadi. Hubungan yang terjadi menjadi hubungan hukum perdata antara pasien dan rumah sakit. Masyarakat lebih berkedudukan sebagai pasien yang terikat pada hukum kesehatan dan hukum perdata.

Kesimpulan
Bentuk-bentuk penggalangan sumber daya fundraising dan/ atau produksi oleh lembaga sangat didasari atas alasan yang menjadi dasar dipilihnya penggalian sumber daya tertentu oleh lembaga nirlaba.tersebut.
Secara sederhana dapat dipetakan 2 (dua) alasan besar yang mempengaruhi pilihan bentuk penggalangan sumber daya pada lembaga nir laba, yaitu : karena alasan ideologi dan karena alasan isu sebagai dengan dasar pengambilan bentuk penggalangan sumber daya. Pada lembaga yang mendasarkan pada alasan ideologi, maka penggalangansumber daya yang dilakukan cenderung tidak terpisah dari kegiatan lembaga atau tidak dalam entitas bisnis tertentu. Hal ini sangat berbeda dengan pilihan yang mendasarkan pada isu tertentu maka kegiatan penggalangan sumber daya lembaga cenderung dengan membuat satu unit bisnis ataupun unincorporatoin.

I. Daftar Pustaka
Buku:
Adam Podgorecki dan Cristoper J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Allan J. Stitt, Mediation, a Practical Guide, Cavendish Publishing, London, 2004.
Arief Budiman, State And Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia-No. 22, .
Darji Darmodiharjo dan Sidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004.
John Clark, NGO dan Pembangunan Demokrasi, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995.
George Soros, Krisis Kapitalisme Global, Qalam, Yogyakarta, 2002.
Michael Norton, Menggalang Dana, Yayasan Obor, Jakarta, 2002.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2003.
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, HuMa, Jakarta, 2003.
Ri chad Hill, Menuju Kemandirian Keuangan, Yayasan Obor, Jakarta, 2001, iiv.
Soerjono Soekamto, Metodologi Penelitian Hukum Empiris, IND-HIL-CO, Jakarta, 1990,
Theo Litaay, Dyah Hapsari, Umbu Rauta, Karakteristik Dan Problematika Hukum Di Sektor Nir Laba Menuju Good Corporate Governance, FH-UKSW, Salatiga, 2004
Wawan Fahrudin, Akuntabilitas dan Transparansi LSM dalam Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Demokrasi di Indonesia, CIVIC Vol.1.No.2 Agustus 2003, Jakarta.
Jurnal:
Membongkar Proyek-proyek ORNOP, Wacana Edisi 16 tahun 2004, Insist,
Yogyakarta.

Makalah
Sigit W, Makalah Kemandirian Organisasi dan Program NGO, YIS – Surakarta, 2003,
Zaim Saidi, Lima Tantangan Mendasar LSM, PIRAC, Jakarta, 2004.



[1] Paper KHN: Problematika Hukum sektor nirlaba Menuju Good Corporate Governance oleh Theofransus Litaay, Dyah Hapsari P, Umbu Rauta, Salatiga,2004, hal. 1.
[1] Wawan Fahrudin, Akuntabilitas dan Transparansi LSM dalam Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Demokrasi di Indonesia, CIVIC Vol.1.No.2 Agustus 2003, Jakarta, hal. 38.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
[3] Theofransus Litaay, Dyah Hapsari Prananingrum, Umbu Rauta, Problematika Hukum Dalam Pengelolaan Sektor Nir Laba Menuju Good Corporate Governance, FH-UKSW, Salatiga,2004.
[4] Michael Norton, Menggalang Dana, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002, Hal.210

[6] Baca laporan penelitian “Problematika Pengelolaan Lembaga Nirlaba Berdasarkan Good Corporate Governance”, Theofransus Litaay, Dyah Hapsari, Umbu Rauta, FH UKSW, 2004.
[7] Ibid.
[8] Baca Philip Eldridge dalam Arif Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia No. 22 tahun 1990, hal. 512.
[9] Ri chad Hill, Menuju Kemandirian Keuangan, Yayasan Obor, Jakarta, 2001, hal iiv.
[10] Dahlan Thalib dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, RajaGrafindo Persada, Jakarta ,2004 , Hal. 63.
[11] Zaim Said, Makalah: Lima tantangan Mendasar LSM , disampaikan dalam pertemuan antar NGO di Jakarta:, PIRAC, 2004, hal.5.
[12] Sigit W, Makalah Kemandirian Organisasi dan Program NGO, YIS – Surakarta, 2003, hal 4.

Tidak ada komentar: